Dalam rapat konsultasi dengan DPR RI,
SBY menyampaikan bahwa pelaksanaan pemekaran telah memberatkan keuangan
pemerintah pusat . Banyak dana transfer ke daerah, untuk membiayai pemekaran,
sementara penggunaan dana tersebut tidak di evaluasi.
Pada tahun 2003, pemerintah pusat
menyediakan Dana Alokasi Umum Rp 1,33 triliun bagi 22 DOB hasil pemekaran tahun
2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada 2004, di mana pemerintah
harus mentransfer Rp 2,6 triliun alokasi DAU bagi 20 DOB. Sementara pada 2010
pemerintah harus mengucurkan dana sebesar Rp 47,9 Triliun sebagai DAU untuk
daerah pemekaran. Beban terhadap APBN semakin bertambah akibat lemahnya daya
dukung keuangan sebagian besar daerah pemekaran itu, Selain itu, di beberapa
daerah pemekaran, pemerintah pusat juga mengalokasikan DAK untuk membiayai
pembangunan infrastruktur. (Ace. Desentralisasi Otonomi Dan Pemekaran Daerah Di
Indonesia:87)
Pernyataan presiden SBY tentang
moratorium tidak dapat mengentikan usulan pemekaran daerah. Usulan pemekaran
daerah lebih banyak diusulkan kepada DPR RI. DPR tak bisa membendung usulan
memang tidak bisa membendung usulan dari daerah karena jika dasar moratorium
pemekaran daerah hanya pernyataan SBY, tidak memiliki dasar yang kuat sebagai
hukum.
Selaku
Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), Wakil Presiden (Wapres) K.H.
Ma’ruf Amin menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah masih melakukan
moratorium pemekaran daerah otonom baru (DOB), kecuali untuk Papua dan Papua
Barat. Sebab menurutnya beberapa daerah yang ingin melakukan pemekaran wilayah
memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup kecil sehingga berdasarkan
kajian akan bergantung kepada APBN.
Lebib lanjut, Wapres menjelaskan bahwa pengecualian
untuk wilayah Papua dan Papua Barat dilakukan karena adanya kebutuhan khusus
seperti mempermudah pengawasan karena wilayahnya yang luas, dan mempercepat
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di kedua wilayah tersebut.
“Karena Papua dan Papua Barat ini memang ada
kebutuhan khusus, baik karena untuk (peningkatan) pelayanan (karena) luasnya
wilayah, dan kemudian juga untuk mempercepat kesejahteraan di Papua, dan juga
tentu supaya pengawasannya lebih mudah,” terangnya. (https://www.wapresri.go.id/wapres-moratorium-pemekaran-wilayah-masih-berlaku-kecuali-untuk-papua-dan-papua-barat/)
Mengukur Urgensi pencabutan moratorium parsial atau
dalam hal ini wilayah papua dan papua barat karena adanya kebutuhan khusus juga
dilihat dan dinilai tidak adil ketika melihat wilayah lain yang memiliki
kebutuhan yang sama. Menurut banyak laporan otsus papua juga bukan kehendak
masyarakat papuia secara kesuluruhan dan hanya ambisi para elite papua. (Baca: https://indoprogress.com/2019/07/menimbang-pendekatan-baru-untuk-papua-rekomendasi-untuk-jokowi/)
Kebijakan moratorium pemekaran atau
penundaan sementara terhadap pelaksanaan pemekaran daerah, juga bertentangan
dengan undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, seharusnya
pemerintah dalam memperpanjang kebijakan moratorium pemekaran daerah di dalam
isi kebijakannya beralasan bahwa pemerintah dalam proses grand desain pemekaran
daerah, sehingga kebijakan moratorium tersebut menjadi terusan dari
undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan pemekaran
Daerah.
Salah satu aspek terpenting dalam
pemekaran daerah ini sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah
daerah dengan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan demokratis, dengan
interaksi yang lebih intensif, antara masyarakat dengan pemerintah daerah baru,
sehingga masyarakat sipil akan mudah untuk mendapatkan hak-hak dan melaksanakan
kewajiban secara lebih baik sebagai warga negara.
Dalam alasan dasar terjadi aspirasi
masyarakat yang di dalamnya berisi pemekaran daerah disebabkan kurang puas dan
kurang perhatiannya pemerintah pusat dalam memerhatikan daerah yang
jangkauannya jauh dari pemerintahan pusat, sehingga penyerapan aspirasi lambatbahkan
sama sekali tidak tersampaikan.
DalamUndang-Undang Dasar 1945 pasal
1&B ayat 1 dan 2 menyebutkan bagaimana eksistensi pemerintah daerah baik
provinsi maupun kabupaten dan kota, termasuk didalamnya mengakui asas ekonomi
seluas-luasnya berdasarkankan aspirasi masyarakat, lantas apa yang terdapat
dalam undang-undang no 23 tahun 2014 yang mengatur tentang pemerintah daerah
dan memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan penataan daerah
sebagaimana terdapat dalam pasal 32 ayat 1 undang-undang no 23 tahun 2014.
Kebijakan yang berupa moratorium
pemekaran/penundaan sementara tersebut, sehingga pemekaran tidak bisa dilakukan,
yang mana hal kebijakan tersebut bisa dikatakan inkonstitusional atau
berlawanan dengan peraturan perundangan-perundangan lain. ( Ahmadi, Rakhmat
Nopliandry, Nasrullah: Implementasi Kebijakan Moratorium Terhadap Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah )
Kebijakan Moratorium pemekaran
seharusnya tidak dilanjutkan oleh pemerintah karena hal tersebut bertentangan
dengan undang-undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, dan seharusnya
kalau memang pemerintah ingin menunda pemekaran daerah dengan mencabut atau
merevisi kebijakan moratorium terkait supaya tidak ada tumpang tindih antara
undang-undang dengan undang-undang lainnya.
Jika Pemerintah memiliki kebijakan
moratorium pemekaran daerah ini diambil untuk mengevaluasi pelaksanaan
pemekaran sebelumnya yang terkendala masalah DOB yang belum mandiri secara
finansial. Artinya, daerah-daerah hasil pemekaran tersebut memiliki Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang belum mencukupi, sehingga masih bergantung pada dana
transfer dari Pemerintah Pusat, seharusnya pemerintah membentuk tim kajian
khusus terkait kelayakan pemekaran kepada wilayah yang telah mengajukan
pemekeran.
Jawa
Barat merupakan wilayah yang memiliki penduduk terpadat di Indonesia yang
berjumlah 48.475.500 jiwa. Apabila di bandingkan dengan provinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Jawa Barat merupakan yang memiliki jumlah penduduk lebih
banyak, namun jumlah Kabupaten/kota lebih sedikit.
Dengan adanya ketimpangan ini pembentukan Daerah
Otonomi Baru di Jawa Barat adalah sebuah keharusan sehingga terwujud percepatan
pertumbuhan dan pemerataan yang berkelanjutan. Pemekaran Daerah Otonomi Baru
(DOB) di Provinsi Jawa Barat perlu dilakukan melihat dari ketidak merataan
ditingkat nasional yakni dilihat dari jumlah penduduk Jawa Barat berjumlah 48
juta. dengan 27 kabupaten/kota, yang memperoleh bantuan dari pemerintah pusat
yang lebih kecil 3 dibandingkan dengan Jawa Tengah berjumlah 38 juta dengan 38
kabupaten/kota dan Jawa Timur berjumlah 39 juta. dengan 38 kabupaten/kota, hal
tersebut tentunya harus dipertimbangkan agar terciptanya keseimbangan
(stabilitas) kemampuan pemerintah daerah dengan sumber daya yang dimiliki dalam
melayani masyarakat melalui kabupaten/kota yang tersebar di tiap wilayah.
Dari ketimpangan itu berimplikasi sangat besar
terhadap kesenjangan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan pelayanan
masyarakat Jawa Barat khususnya Kabupaten Bogor, padahal Kabupaten Bogor 10
Tahun di pimpin oleh Presiden yang kediamannya di Kabupaten Bogor dan sekarang
berlanjut di kepemimpinan Jokowi akan tetapi selama itu ketimpangan politik
anggaran terus menjadi hantu yang menyelimuti masyarakat Jawa Barat khususnya
Kabupaten Bogor.
Kabupaten Bogor sendiri adalah
daerah yang urgensi dimekarkannya sangat tinggi, berpenduduk sekitar 5,4 juta
jiwa sama dengan provinsi Sumatera barat yang memiliki 19 kabupaten/kota dan
125 Kecamatan, bahkan jumlah penduduk kabupaten Bogor lebih banyak dari
provinsi Bali yang berjumlah sekitar 4,3 juta jiwa dan memiliki 9
kabupaten/kota dan 57 kecamatan.
Kita bisa bayangkan ketimpangan
kesejahteraan dan rentang kendali yang jauh ini.Harusnya, pemekaran daerah di Jawa Barat,
khususnya Kabupaten Bogor, memiliki urgensi yang jelas dan bisa menjadi
pengecualian di tengah moratoriun DOB saat ini. PAD Bogor Timur saja
yang tembus 700 milyar dengan keadaan yang sudah crowdit itu hal itu membantah
alasan parsial pemerintah tentangdaerah-daerah hasil pemekaran
tersebut memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang belum mencukupi.