Selayang Pandang Justice Collabolator. Begini Tanggapan Praktisi -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Selayang Pandang Justice Collabolator. Begini Tanggapan Praktisi

, 2/15/2023 06:06:00 PM

Bagus Mizan Albab, Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 


Vnn.co.id, Kabupaten Nunukan - Nullum delictum nulla poera sine praevia lege poenali, Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali ketentuan pidana dalam undang-undang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Adigium tersebut setidaknya dapat mencerminkan kondisi hukum di masyarakat yang ramai akhir-akhir ini.


Persoalan dapatkah seorang justice collabolator (JC) dijatuhi hukuman pidana atau haruskah seorang JC semestinya mendapatkan tuntutan yang paling ringan dari tuntutan Para Terdakwa lain, menjadi bahasan menarik tidak hanya dikalangan akademisi dan praktisi, melainkan juga kalangan pemuda-pemudi yang mendiskusikannya mulai dari di tempat kerja hingga warung kopi.


Terkait persoalan tersebut, bagaimana sebetulnya pengaturan dan penerapan JC bagi seorang pelaku tindak pidana yang menjadi saksi dalam perkara tersebut, dan bersedia untuk mengungkap fakta dan peristiwa pidana, sehingga peristiwa pidana tersebut menjadi terang.


KETENTUAN REGULASI


Istilah Justice Collabolator (JC) di Indonesia pertama kali dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006). Dalam ketentuan tersebut, Pasal 10 menerangkan “Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.


Mendasari hal tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 (SEMA 4/2011) yang menyempurnakan dan merinci lebih lanjut ketentuan bagi seorang JC. SEMA tersebut menerangkan dalam Angka 1 disebutkan, “Tindak Pidana tertentu terhadap perlakuan bagi JC yaitu Tindak Pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat tergorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.”


UU 13/2006 kemudian di revisi kembali dengan UU No 31 tahun 2014, dimana pengaturan JC terdapat dalam Pasal 10 A yang menyatakan “Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan”.


Ketentuan Pasal ini sebenarnya merupakan pengaturan yang mempertegas atas ketentuan SEMA 4/2011, yang menyatakan “Saksi pelaku yang bekerjasama, maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lain.


IMPLEMENTASI JUSTICE COLLABOLATOR


Praktik Justice Collabolator dalam proses persidangan di Indonesia, dalam praktiknya sudah berlangsung cukup lama seperti dalam kasus Pengadaan E-KTP dimana terdapat tiga terdakwa yang menjadi JC, kasus suap Djoko Tjandra, dimana Tommy Sumardi mengajukan diri sebagai JC dalam persidangan tersebut. Dengan demikian, seringkali keberadaan JC sangat dibutuhkan dalam proses persidangan agar sebuah perkara pidana menjadi terang dan dapat menemukan lebih banyak fakta persidangan yang sebenarnya.


Ketentuan JC, dalam UU 31/2014 dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Proses penaganan khusus tersebut dapat berupa; (i) pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana; (ii) pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa; dan (iii) memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.


Adapun penghargaan atas kesaksian bagi JC dalam membuka peristiwa pidana menjadi terang di persidangan, dapat diberikan oleh Hakim berupa keringanan penjatuhan pidana dan pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.


Pemberian penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana terhadap Saksi Pelaku atas kesaksian yang diberikan di persidangan, maka LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk selanjutnya dimuat dalam tuntutannya kepada Hakim.


Akan tetapi, UU 31/2014 tidak mengatur ketentuan apabila Penuntut Umum tidak memuat ketentuan keringanan hukuman bagi Saksi Pelaku atas rekomendasi dari LPSK. Karena dalam UU 31/2014, rumusan Pasal tersebut hanya bersifat “rekoemndasi” dan Penuntut Umum memiliki hak untuk menggunakan rekomendasi tersebut atau tidak.


Akan tetapi, proses pemberian keringanan hukuman bagi JC harus dimulai dari rekomendasi tertulis LPSK yang nantinya akan dimuat dalam tuntutan oleh Penuntut Umum kepada Hakim untuk memberikan keringan penjatuhan pidana. Tanpa adanya rekomendasi tertulis dari LPSK, Penuntut Umum tidak dapat memuat keringanan penjatuhan pidana dalam surat tuntutan.


PERAN HAKIM DALAM PENJATUHAN VONIS JC


Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa untuk memperoleh keringanan penjatuhan pidana, maka LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Penuntut Umum untuk selanjutnya rekomendasi tersebut dimuat dalam surat tuntutan. Hakim dalam kondisi demikian, dapat mengacu kepada SEMA 4/2011, dengan mengidentifikasi terlebih dahulu apakah tindak pidana tersebut sesuai dengan pidana tertentu yang bersifat serius, tergorganisir, dan telah menimbulkan ancaman serta masalah serius atau tidak. Apabila Hakim melihat bahwa Tindak Pidana yang dilakukan oleh Saksi Pelaku memenuhi kriteria tindak pidana tertentu, maka Hakim dapat mempertimbangkan lebih lanjut.


Perimbangan lebih lanjut yang dilakukan oleh Hakim, menurut SEMA 4/2011, Saksi Pelaku sebagaimana termuat dalam definisi Saksi Pelaku berdasarkan UU 31/2014 merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana tersebut di atas, dan mengakui serta bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.


Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum di dalam tunttuannya harus menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.


Apabila hal tersebut terpenuhi, maka terhadap Saksi Pelaku tersebut, Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana seperti: menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.


Dengan demikian, putusan hukuman bagi Saksi Pelaku atau JC pada pokoknya menjadi kewenangan mutlak dari Hakim untuk menimbang dan menganalisis apakah Saksi Pelaku tersebut memenuhi kriteria dan ketentuan sebagai JC atau tidak. Meskipun demikian, dalam pemberian perlakuan khusus yaitu pemberian keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.


Redaksi 

Penulis : Bagus Mizan Albab

TerPopuler

close