Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak dalam Kajian Hukum Indonesia -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak dalam Kajian Hukum Indonesia

, 1/12/2022 01:55:00 PM
Ilustrasi menikah.


Oleh: Sofyan Mohammad**

-----------------------------------------------------------------------------------


Perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi telah melengkapi perkembangan cara berpikir dan sudut pandang masyarakat dalam menghadapi dinamika permasalahan sosial yang semakin komplek. Global vilagge yang ditandai dengan maraknya dunia pariwisata telah menciptakan trend baru sebagai gaya hidup. Para traveler yang menjelajah daerah baru pada kenyataannya bukan melulu persoalan tadabur alam maupun kebudayaan semata, tetapi juga menyasar pada problem yang berakar syahwat. 


Problem perkembangan zaman terkorelasi pula pada titik singgung peradaban dan eksistensi. Dalam hal ini terkait erat dengan kajian seksualitas bukan dalam pengertian yang sederhana, yaitu hanya mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Dalam perspektif kebudayaan, seksualitas adalah sebuah eksistensi manusia yang menyangkut aspek emosi, cinta, aktualisasi, ekspresi, perspektif, dan orientasi atas tubuh yang lain. Dalam konteks ini seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap yang lain dengan arti yang sangat kompleks. 


Seksualitas sendiri terkait dengan kehidupan kita sebagai manusia  yang memiliki beragam hasrat, seperti kepada siapa kita memiliki rasa ketertarikan, dengan siapa kita ingin  berkeluarga, dan dari siapa kita ingin mempunyai anak. 


Selain itu, seksualitas juga memiliki keterkaitan dengan identitas  mengenai bagaimana masyarakat melihat seseorang sebagai sexy woman, atau sebagai laki-laki yang ’macho’. Sehingga pengertian seksualitas ini sangatlah luas. 


Seksualitas dapat ditinjau dari berbagai dimensi, yaitu dimensi biologis, dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi kultural atau budaya.  Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual.


Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis.  Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks.


Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.


Kajian singkat tentang seksualitas di atas adalah pintu kecil untuk membuka fenomena tentang nikah mut'ah. Fenomena ini nampaknya menjadi salah satu kajian yang cukup menarik, karena nikah mut'ah dapat ditinjau dari kebutuhan seksualitas yang di sana harus berhadapan dengan pengertian budaya dan eksistensi manusia. 


Nikah mut’ah atau nikah dalam jangka waktu tertentu oleh sebagian ahli menyebutnya sebagai nikah kondisional, usurfuct, nikah temporer, nikah muaqqat (kawin sementara waktu) serta nikah inqita’ (kawin terputus).


Sebagai salah satu kebutuhan mendasar manusia, maka seksualitas melalui praktik nikah mut'ah telah memiliki rekam jejak sejarah yang panjang, khususnya dalam peradaban Islam. Dari aspek historis, nikah mut’ah muncul pada masa pra-Islam, di mana syariat Islam belum ditetapkan secara lengkap. Pada masa itu, pernikahan ini diperbolehkan pada saat melakukan suatu perjalanan atau ketika sedang terjadi peperangan. 


Mengutip kitab Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi menyebutkan bahwa nikah mut’ah pernah diperbolehkan dan diharamkan sebanyak dua kali. Pertama, diperbolehkan sebelum perang Khaibar dan diharamkan ketika masa perang Khaibar. Kedua, diperbolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah atau pembebasan Makkah dan diharamkan setelahnya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.


Nikah mut'ah pada saat itu diperbolehkan karena masa tersebut merupakan masa perang dalam transisi peralihan dari zaman jahiliyah, sehingga masa peralihan banyak hal yang masih memerlukan penyesuaian.


Dalam berbagai catatan di zaman jahiliyah, wanita adalah objek yang diperlakukan selayaknya barang. Jarak medan perang yang jauh dari kediaman istri membuat para sahabat yang hendak berperang merasa berat, oleh karenanya aturan ini diturunkan sebagaimana bentuk keringanan atas kondisi tersebut.


Selanjutnya menjadi menarik adalah bagaimana hukum kawin kontrak dari aspek hukum agama dan hukum negara kita Indonesia. Hukum nikah mut’ah dalam Al-Qur’an dapat terbaca dalam surah an-Nisa ayat 24 yang disebut-sebut sebagai dasar aturan perihal pernikahan ini. Akan tetapi, dalam hal ini antara paham Syiah dan Sunni memiliki perbedaan sudut pandang yang besar dalam menafsirkan ayat tersebut.


Dalam paham Syiah berpendapat bahwa redaksi istamta’tum surah an-Nisa ayat 24 merupakan akar dari kata mut’ah, oleh karenanya pengikut aliran Syiah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah menurut Al-Qur’an adalah sah. Negara berpaham Syiah, seperti Iran bahkan memperbolehkan dan mengatur praktik pernikahan ini dalam hukum positif kenegaraannya.


Sementara itu, paham Sunni mengharamkan praktik nikah mut’ah. Sunni berpendapat bahwa surah an-Nisa ayat 24 telah ditafsirkan dengan surah Al-Mu’minun ayat 5 hingga 7, oleh karenanya surah tersebut tidak berkaitan dengan mut’ah.


Dikutip dari buku Panduan Lengkap Muamalah karangan Muhammad Bagir, mut'ah disebut juga nikah sementara waktu atau nikah terputus. Secara bahasa, kata ini berarti sesuatu yang dinikmati atau dimanfaatkan. Pelakunya mendapat kemanfaatan dengannya serta menikmati sampai batas waktu yang ditentukan.


Ayat Al-Qur’an kerap dijadikan dalil oleh komunitas syiah, nikah mut'ah halal adalah "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (dalam ayat tersebut digunakan lafadz istamta'tum bihi minhunna), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban." (QS An Nisa:24). 


Dalam sebuah riwayat disebutkan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ka'b bin Ubay dan Said bin Jubair, kalimat tersebut mendapatkan penambahan makna. "... Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (dengan tambahan kalimat, sampai batas waktu tertentu)." 


Mazhab Ja'fari, salah satu mazhab yang dianut kaum syiah mengurai bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut'ah. Syarat-syarat tersebut, yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafa dz nikah, kawin, atau mut'ah dengan seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama. Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya. Perempuan yang dinikahi mut'ah tersebut juga harus dalam keadaan bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan, persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya, saat dia dalam keadaan iddah atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.


Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa memerlukan talak. Hanya, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami memperbaharui akad dan mahar. Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah. Meski, ada ulama syiah yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam nikah mut'ah.


Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh as-Sunnah menjelaskan, pernikahan mut'ah tidak berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan yang disebut dalam Al-Qur’an. Contohnya talak, iddah, dan pewarisan (antara suami-istri). Karena itu, pernikahan tersebut tidak sah seperti pernikahan -pernikahan lain yang tidak sah menurut agama Islam.


Banyak hadis yang mengharamkannya. Contohnya, apa yang diriwayatkan dari Saburah Al-Juhani, dia pernah bersama Rasulullah SAW dalam peristiwa pembebasan Makkah. Ketika itu, dia memang pernah mengizinkan anggota pasukan Muslim untuk melakukan mut'ah. Namun, ketika bersiap-siap meninggalkan kota itu, dia mengharamkannya. Dalam riwayat Ibn Majah disebutkan, Rasulullah SAW telah mengharamkan mut'ah. "Wahai kalian semua, sebelum ini aku telah mengizinkan kalian melakukan perkawinan mut'ah. Kini ketahuilah, Allah SWT telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat." 


Rasulullah pun bersabda seperti diriwayatkan Ali bin Abi Thalib. Nabi mengeluarkan larangan nikah mut'ah pada peristiwa Khaibar.  Sayyid Sabiq sempat menjelaskan memang ada beberapa sahabat Nabi serta dari kalangan tabiin yang menyatakan nikah mut'ah halal. Di antaranya, yakni pendapat Abdullah bin Abbas ra. Hanya saja, sahabat Rasulullah tersebut mengungkapkan, kehalalan mut'ah hanya untuk keadaan darurat. Tidak untuk semua keadaan secara mutlak. Abdullah bin Abbas pun, ketika mendengar banyak orang melakukan mut'ah berdasarkan fatwanya, dia sangat terkejut. Dia lantas berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun! Bukan seperti itu yang kumaksud dalam fatwaku. Sungguh aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana Allah SWT menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi yang tidak dihalalkan kecuali bagi orang dalam keadaan darurat."


Tidak hanya itu, mengenai bacaan QS an-Nisa: 24 yang memberi penambahan makna sampai batas tertentu, bukanlah termasuk bagian dari Al-Qur’an. Imam Asy Syaukani berpendapat, redaksi tersebut bukan termasuk dalam Al-Qur’an karena sesuai dengan pandangan ulama yang menyaratkan keharusan sifat mutawatir dalam periwayatannya. 


Dalam Islam, seksualitas dianggap sebagai bagian dari indentitas manusia dalam hal ini juga menyangkut eksistensi manusia. Karena menyangkut eksistensi manusia, maka menjadikan ruang budaya yang berbeda-beda dalam mengekspresikan eksistensi tersebut. Islam hadir sebagai rohmatan lil alamin. Adapun terkait dengan seksualitas, ajaran Islam memercayai bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna karena memiliki akal dan pikiran. Karena diciptakan dengan kesempurnaan, manusia harus mampu mengontrol prilakunya, dalam hal ini juga yang termasuk untuk mengontrol hasrat seksualnya.


Semua agama memiliki aturannya masing-masing dalam memberikan batasan mengenai aktivitas seksual. Tidak terkecuali dalam Islam, agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia, karena hal tersebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jamiyah terbesar telah membuat kebijakan yang berupa fatwa. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa, yaitu nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama  Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah.''


Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fuqaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai dasar hukumnya, ulama NU bersandar pada al-Umm lil Imam asy-Syafi'i juz V, hlm 71, Fatawi Syar'iyyah lisy Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II, hlm 7, serta Rahmatul Ummah, hlm 21. ''Demikian halnya, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer) maka nikah tersebut tidak sah dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami-istri.'' 


Selanjutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram. Fatwa nikah kontrak yang ditandatangani Ketua Umum MUI KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ibrahim Hosen itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut'ah.


"Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." Begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. 


Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Al-Qur’an surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka. Maka, sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.'' Berdasarkan ayat itu, MUI menyatakan, hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah.


Fatwa para Ulama NU maupun MUI nampaknya juga terkorelasi dengan ketentuan hukum positif sebab nikah mut’ah atau kawin kontrak ini dianggap tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 jo. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Unsur yang dimaksud antara lain:


1. Tidak memenuhi tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal, karena hanya bersifat singkat dan sementara. 

2. Tidak dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau tidak sesuai dengan aturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai aturan pernikahan agama Islam. 

3. Tidak melalui pencatatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Dalam kajian lebih lanjut, kawin kontrak bertentangan pula dengan beberapa aturan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).  Dalam pasal 2 KHI menerangkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Konsep kawin kontrak tidak bertujuan untuk melaksanakan ibadah, hanya sebagai cara menyalurkan nafsu seksual semata.


Dalam Pasal 3 KHI menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Mengingat adanya periode yang terbatas dengan tujuan akhir berpisah setelah periode tersebut berakhir, hubungan kawin kontrak tidak memiliki tujuan yang sama sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang hendak dibina dalam kawin kontrak.


Dengan demikian, maka nikah mut'ah adalah nikah yang dilarang oleh para fuqaha NU yang berfaham sunni Ahli Sunnah Wal Jamaah sebagaimana telah dikabarkan dalam bentuk fatwa para ulama NU dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat maupun dalam fatwa MUI pada 25 Oktober 1997. Nikah mut'ah juga bertentang dengan hukum positif kita sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 


Wallahu a'lam bi shawab

Semoga bermanfaat. 


---------------------------------------------------------------------------------

*Artikel ditulis sebagai bahan untuk materi dalam SILATURAHMI,  SARASEHAN & PENGAJIAN RUTIN BULANAN LPBHNU Jateng 

PENCERAHAN HUKUM TTG KAWIN MU'T'AH. 

Pada hari Kamis 6/01/2021 

Tempat di Kantor PWNU Jateng JL. Dr Cipto 180 Kota Semarang. 

---------------------------------------------------------------------------------

Penulis adalah praktisi hukum sekaligus pengurus LPBHNU PWNU Jawa Tengah 


---------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR REFERENSI BACAAN :


1. Andy Dermawan, Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik, Paradigma. 2006.

2. Kurnia Alam Semesta, Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam : Teori dan Praktik, Paradigma, 2006.

3. Bahtsul Masail. Dalam Dinyah Munas NU pada November 1997.

4. Fatwa MUI tentang hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997.

5. Kitab Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi. 

6. Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunah. 

7. Muhammad Bagir, Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al-Qur'an, Al-Sunnah, Dan Pendapat Para Ulama, Naura. 2008.

8. Siti Sarah Maripah, Pengesahan kawin kontrak, pandangan sunni dan syaih, Pustaka Patin. 2007.

9. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

10. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

TerPopuler

close