Woman work: Google. |
Vnn.co.id, Worklife - Zaman sekarang, pekerjaan bagi laki-laki sudah banyak dikerjakan oleh perempuan, kini pekerjaan sudah tidak memandang gender. Namun, ada sebagian yang memang masih menganggap wanita itu lemah. Lalu, bagiamana tanggapan para jurnalis tentang hal tersebut. Berikut tanggapan jurnalis perempuan era digital menyikapi tantangan profesinya.
1.Petty S Fatimah, Pemimpin Redaksi Majalah
Femina
"Di masa mana pun, perempuan jurnalis yang ingin
pekerjaannya impactful dan dicatat zaman, perlu cerdas,
bergaul luas, update dengan zamannya (untuk saat ini kuasai
teknologi) dan tidak merasa, 'Ah, saya, kan cuma perempuan
(wartawan)'." Rohana Kudus membuktikan itu.
Pers perjuangan butuh keberanian, kecerdasan, dan kecerdikan. Amunisi yang sama untuk wartawan zaman now.
Dan jangan lupa bersenang-senang, karena dari situ kreativitas luar
biasa akan muncul.”
2. Amanda Komaling, Pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
“Dengan banyaknya kemudahan informasi di era
digital seperti saat ini, jurnalis perempuan jangan berpuas diri dengan
kemampuan yang dimiliki. Tidak bermodalkan paras cantik lalu malas belajar, mencari referensi serta berkarya secara intensif,” kata Amanda Komaling.
Menurut jurnalis
televisi yang tinggal dan bertugas di Manado ini, “Perjuangan jurnalis
perempuan juga dibutuhkan di rapat-rapat redaksi. Di mana isu mengenai
perempuan dan anak kadang dianggap tidak terlalu menarik. Ketika bekerja
di lapangan (meliput), jurnalis perempuan harus mampu bekerja setara dengan
kelompok jurnalis pria. Bagi saya, jurnalis televisi di daerah, selain perempuan
wajib menguasai teknis lapangan, dia juga dituntut mampu melaporkan secara
langsung jika dibutuhkan medianya, secara dengan mandiri dan profesional.”
3. Khairiah Lubis, Pendiri Forum Jurnalis Perempuan Indonesia
Menurut Khairiah yang
tinggal di Medan dan bekerja untuk sebuah stasiun televisi itu, saat ini sumber
informasi mudah diperoleh dari internet, dan lebih mudah pula menyiarkan
konten. “Sayangnya, media masih banyak menjadikan perempuan sebagai
komoditi, sehingga perempuan yang bekerja di media harus bekerja ekstra keras
untuk menyadarkan medianya agar punya perspektif perempuan.”
4. Ratna Sulistiowati, Pemimpin Koran Rakyat
Merdeka
“Tugas jurnalis zaman now pada hakikatnya sama, mendidik masyakarat dan fungsi sosial kontrol tapi sekaligus harus selaras dengan kepentingan bisnis media. Jurnalis tetap bisa bersikap kritis tapi realistis. Apa maksudnya? Mengedepankan kepentingan yang lebih besar atau mengutamakan arus aspirasi masyarakat banyak daripada membela kelompok. Bersikap adil dan objektif dengan menyampaikan beragam pandangan yang berbeda di masyarakat. Menyaring informasi di tengah lautan hoax dengan menyajikan data dari sumber yang resmi dan otoritasnya bisa dipertanggungjawabkan,” kata Ratna.
5. Indiana Malia, jurnalis IDN Times
"Selama bekerja
di lapangan, saya menemukan banyak jurnalis perempuan yang tidak diizinkan
istirahat dengan alasan haid oleh media tempatnya bekerja. Bahkan, saya pernah
nyaris pingsan di tempat liputan lantaran menahan dismenore (dan
sejak saat itu saya diizinkan cuti haid di bulan-bulan berikutnya),” kata
Indiana.
Menurutnya, perusahaan
media seyogianya memenuhi hak-hak reproduksi perempuan, seperti
memberikan cuti haid, cuti melahirkan, dan menyediakan ruang laktasi bagi
pekerja perempuan. Selain itu, perusahaan juga semestinya dapat bertindak tegas
terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan di tempat kerja."
6. Rosianna Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas
TV
“Di zaman digital dan media sosial, serta referensi yang diakses dengan mudah
menjadi perbedaan paling besar dibanding masa Rohana Kudus. Dan tantangan saat
ini adalah bagaimana tetap melahirkan karya jurnalistik yang bermutu di tengah
gempuran informasi dari berbagai media sosial,” kata Rosi.
7. Titin Rosmasari, Pemimpin Redaksi Trans 7 dan CNN Indonesia
“Dalam kodratnya, jurnalis perempuan, kadang harus memilih apakah ia terus atau mundur dari pekerjaannya (tekanan keluarga, atau lebih sering keinginan untuk mengurus anak-keluarga)," kata Titin.
Menurutnya, jurnalis perempuan memiliki kepekaan yang tinggi pada isu-isu sosial dan humanis. Dari peninggalannya, Rohana Kudus menjadi unggul karena dapat menyuarakan berbagai ketimpangan sosial, kepentingan perempuan dan juga isu-isu sosial-budaya lewat tulisan dan peran sertanya langsung sebagai pendidik.
Jadi. tidak ada yang bisa membatasi kalian untuk
terus berkarya baik perempuan maupun laki-laki. Ikuti passion yang
dimiliki, apa pun itu.
Penulis: Isnatul Fajar
Editor: Mega