Vnn.co.id, Seni Budaya - Satu
suro merupakan penanda awal bulan pertama Tahun Baru Jawa. Dalam penganggalan
Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan dari kalender Islam (lunar), kalender
masehi (matahari), dan kalender Hindu. Berdasarkan pertimbangan dari pragmatis,
sosial, dan politik, penanggalan Jawa memiliki sistem perhitungan harian,
mingguan, dan pasaran. Kemudian penanggalan Jawa memiliki siklus windu, di mana
penanggalan ini disesuaikan dari siklus urutan tahun Jawa ke-8, sehingga jatuhnya satu Suro berselisih satu hari lebih lama dengan satu Muharam dalam kalender
Islam.
Tahun
ini, satu Suro jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021. Satu suro biasanya
diperingati pada malam hari selepas maghrib sebelum tanggal satu. Hal ini
dikarenakan peringatan tanggal Jawa dimulai setelah matahari terbenam pada hari
sebelumnya. Masyarakat Jawa memiliki pandangan dan menganggap malam satu suro
merupakan malam keramat. Sebagian masyarakat Jawa berpendapat, malam satu Suro
dilarang untuk melakukan aktivitas perjalanan kecuali untuk melakukan ibadah.
Kentalnya malam satu Suro dengan budaya Jawa menimbulkan beragam tradisi, di antaranya iring-iringan rombongan masyarakat atau biasa disebut kirab dalam
masyarakat Jawa.
Beberapa
daerah di Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta biasanya melangsungkan perayaan
malam satu Suro di keraton. Di Yogyakarta, perayaan malam satu suro identik
dengan membawa benda pusaka keris sebagai iring-iringan kirab. Para abdi dalem
keraton tak lupa membawa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan. Perayaan tradisi malam satu Suro
menitikberatkan pada ketenangan hati dan keselamatan. Maka, pada peringatan
malam satu Suro biasanya terdapat ritual pembacaan doa. Hal ini ditujukan agar
mendapat keberkahan dan dihindarkan dari segala marabahaya.
Berbeda
dengan perayaan di Yogyakarta, di Surakarta terdapat hewan yang dikeramatkan
yang biasa disebut kebo bule. Hewan
ini menjadi daya tarik wisatawan yang menyaksikan pada perayaan malam satu Suro. Konon katanya, kebo (kerbau)
ini bukan sembarang kerbau. Dalam buku "Babad Solo" karya Raden Mas Said, kebo
ini adalah hewan kesayangan Paku Buwono II sejak istana atau keraton masih
berada di Kartosura sekitar 10 km arah barat dari kraton sekarang. Menurut
Yosodipuro seorang pujangga kenamaan Kraton Kasunanan Surakarta, leluhur kerbau
bule memiliki warna kulit putih sedikit kemerah-merahan. Dapat diketahui kerbau
bule itu merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada
Paku Buwono II. Maksud pemberian hadiah ini untuk pengawal pusaka dari sebuah keraton yang bernama Kiai Slamet saat beliau hendak pulang mengungsi di Pondok
Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Keraton Kartosura.
Selain
itu, pada umumnya masyarakat Jawa selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada
Sang Maha Pencipta dan melakukan berbagai hal kebaikan yang tak hanya pada
sepanjang bulan Suro, melainkan bulan-bulan berikutnya. Beragam tradisi pada
malam satu Suro, di antaraya tapa bisu, dimaksudkan untuk mengunci mulut agar tidak
mengeluarkan kata-kata selama ritual berlangsung. Hal ini dapat dimaknai
sebagai bagian dari mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang telah
dilakukannya selama satu tahun penuh.
Tak
heran jika pada malam satu Suro tak lepas dari berbagai hal yang berbau mistis,
bahkan banyak orang yang menanggap momen ini sebagai perayaan lebaran versi makhluk
tak kasat mata. Kepercayaan mistis terkait malam satu Suro sudah menjadi bagian
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Nah, dalam artikel
ini saya mencoba untuk merangkum beberapa kepercayaan mistis terkait dengan
malam satu Suro.
Suku
Jawa termasuk suku yang masih memercayai betapa luar biasanya malam satu Suro. Malam
satu Suro dianggap suatu malam sakral, maka timbullah kepercayaan bahwa
masyarakat Jawa dilarang untuk bepergian kecuali untuk melakukan ibadah. Banyak
yang beranggapan jika pada malam itu berpergian maka akan mendapatkan
marabahaya. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk dirumah.
Kepercayaan
kedua yakni jamasan, jamasan memiliki arti memandikan benda pusaka seperti
keris dan benda pusaka lainnya. Adapun makna di balik kepercayaan ini dianggap
cukup untuk menghargai benda pusaka penginggalan para leluhur dengan cara
memandikannya dengan arti menyucikan kembali. Proses pemandian benda pusaka
memiliki arti ada ketertarikan antara sang pemilik sekarang dengan pemilik
sebelumnya dengan cara membersihkan serta diiringi pembacaan doa.
Kepercayaan
lain yang tak kalah membuat bulu kuduk merinding ialah mitos benda pusaka yang
tak dimandikan. Menurut Furi Harun, seorang ahli medium interdimensional,
beliau menyatakan bahwa ketika barang pusaka tidak dimandikan atau disucikan
pada malam satu Suro, maka ada yang percaya bahwa kekuatan benda pusaka itu akan melemah. Hal ini akan berdampak pada kinerja kekuatan dalam bertugas membantu
sang pemilik dalam mencapai tujuan tertentu. Bahkan, apabila benda pusaka itu
tidak dimandikan, maka akan terjadi sesuatu marabahaya pada si pemilik. Parahnya
lagi, apabila didiamkan saja, kekuatan yang ada di dalam benda pusaka itu akan
menyerang sang pemilik.
Kepercayaan
lainnya yaitu dilarang hajatan pada malam atau bulan Suro. Masih banyak
masyarakat percaya akan hal satu ini. Melangsungkan pernikahan atau hajatan
lainnya pada malam atau bulan ini akan mendatangkan nasib sial atau kejadian buruk lainnya. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat Jawa pada bulan ini
jarang terlihat ada yang sedang menggelar hajatan. Adapun malam satu Suro oleh
masyarakat Jawa dipercayai sebagai arwah atau leluhur mereka yang sudah lama
tiada akan kembali ke bumi dan mendatangi keluarganya di rumah.
Dari berbagai mitos kepercayaan di atas, ternyata menyimpan banyak amalan yang dapat dilakukan pada malam satu Suro, di antaranya puasa sunnah asyura.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa puasa yang paling utama setelah bulan Ramadan ialah puasa pada bulan Allah yang biasa disebut bulan Muharam, dan salat yang paling utama setelah salat fardhu ialah salat malam. (HR. Muslim)
Barangsiapa mengamalkannya, maka dosa-dosanya selama satu tahun sebelumnya akan dihapus oleh Allah SWT. Puasa Asyura ini dilaksanakan pada hari ke-10 bulan Muharram.
Amalan kedua, yakni Puasa Tasu’a. Puasa Tasu’a dilaksanakan sehari sebelum Puasa Asyura dilaksanakan yaitu pada hari ke-9 Muharam.
Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “Apabila usiaku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Perbanyak sedekah juga amalan yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umatnya.
Rasulullah bersabda, “Siapa yang meluaskan pemberian untuk keluarganya atau ahlinya, maka Allah SWT akan meluaskan rezeki bagi orang itu adalah seluruh tahunnya.” (HR Baihaqi)
Maka,
menjelang datangnya bulan satu Muharam, masyarakat diperintahkan untuk
memperbanyak amalan, bersedekah, membantu para anak yatim, membantu keluarga,
kaum kerabat, orang-orang miskin, dan mereka yang membutuhkan uluran tangan
kita. Selain amalan tersebut, masih banyak amalan yang dapat dilakukan, seperti
salat malam tahajud, salat taubat dan lain sebagainya. Semoga pada bulan penuh
kebaikan ini Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada
kita semua.
Penulis: Qorina
Lois Fadilla
Editor: Mega