Vnn.co.id, Tangerang - Negara Indonesia merupakan negara demokrasi, di mana seharusnya masyarakat Indonesia diberikan kebebasan dalam berpendapat dengan menggunakan media apapun. Memberi kritik kepada pemerintah atau aparat negara lainnya adalah salah satu bentuk dari demokrasi, di mana masyarakat berharap dengan kritik yang diungkapkan tersebut dapat didengar dan menjadikan sistem kepemerintahan menjadi lebih baik lagi ke depannya.
Namun, apakah Indonesia menerapkan prinsip demokrasi secara penuh
dan benar?
Dilansir dari Tempo.com (20/08) berdasarkan catatan
KontraS, hingga Oktober 2020 terdapat 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses
karena memberikan kritik kepada Presiden Jokowi, 14 peristiwa 25 orang diproses
karena mengkritik Polri, 4 peristiwa 4 orang diproses karena memberikan kritik
kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
“Kalau menurut
saya, Indonesia tidak menyelenggarakan secara penuh prinsip demokrasi dalam
konteks kebebasan berpendapat, walaupun Undang–Undang menjamin hal tersebut.
Prinsip demokrasi yang dijalankan hanya sebatas dalam konteks pemilihan umum
saja,” kata Mia Dwianna Akademisi Untirta dalam keterangan tertulis (20/08).
Menurut Mia,
ketika ada masyarakat yang menyuarakan pendapatnya atau memberikan kritik
kepada pemerintah atau lainnya, seharusnya aparat tidak boleh memproses mereka, karena Indonesia adalah negara yang menganut sistem Demokrasi.
“Seharusnya
tidak boleh (diproses) bila dasarnya adalah UUD 45. Tapi aparat merasa benar
karena Indonesia ini ada UU yang melarang ini itu, misalnya UU ITE, itu banyak
pasal karetnya jadi bisa diterjemahkan dengan berbeda. Jadi aparat memanfaatkan
hal itu, karena selalu dasar penangkapannya adalah melanggar UU,” tambahnya.
Belum lama ini, terjadi peristiwa di mana terdapat masyarakat yang menyampaikan pendapat atau
kritiknya melalui mural di dinding, salah satunya ialah mural bergambar wajah
mirip Presiden Joko Widodo yang bertuliskan 404:Not Found di daerah Batuceper,
Tangerang. Pelaku mural tersebut ditangkap dengan alasan penghinaan simbol
negara. Selain pelaku ditangkap, mural wajah mirip Presiden Joko Widodo yang
bertuliskan 404:Not Found pun sudah dihapus.
Dikutip dari katadata.com (20/08), Pakar Hukum Tata
Negara Bivitri Susanti menganggap polisi bereaksi berlebihan dengan memburu
pelaku mural tersebut, padahal mural dapat dijadikan saluran ekspresi politik. Sementara
itu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai tindakan penghapusan mural tersebut
merupakan bukti dari kemunduran demokrasi di Indonesia dan tindakan penghapusan
serta ancaman kriminalisasi terhadap pelaku pembuat mural merupakan tindakan
pembungkaman terhadap aspirasi masyarakat.
Indonesia
sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sudah semestinya masyarakat
diberikan kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi dan hal tersebut merupakan
salah satu aspek yang penting. Bahkan Undang–Undang Dasar 1945 pun menjamin hal
itu, yang kemudian dipertegas dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945, yang
mana berbunyi “setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Rep: Alfi Khaerotunnisa
Red: Mega