![]() |
Guru Besar IPB Ing Mokoginta bersama sejumlah korban perampasan tanah (FKMTI) mendatangi Mabes Polri, Jumat (28/5/21). |
Vnn.co.id, Jakarta - Guru Besar IPB Prof Ing Mokoginta bersama sejumlah korban perampasan tanah yang tergabung dalam Forum Korban Mafia Tanah Indonesia mendatangi Mabes Polri, Jumat (28/5/21) sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka akan menyerahkan dan membacakan surat terbuka kepada Kapolri terkait kasus perampasan tanah SHM milik mereka.
"Kami punya perkara perampasan hak milik tanah di Polda Sulut dan sudah 4 tahun perkara ini berjalan dari tahun 2017, sudah 5 Kapolda berganti dan sudah 3 kali laporan dengan kasus yang sama.
Puji syukur pada laporan ke-3 sudah naik ke tahap penyidikan dan sudah terbit SPDP, tetapi belum ada penetapan tersangka," ungkapnya.
Prof. Ing berharap dengan surat terbuka tersebut, Kapolri dapat mengawasi agar proses penyidikan yang dilakukan di Polda Sulawesi Utara dapat diselesaikan sesuai hukum yang benar. " Kami berharap Dir Tipidum mengawasi penyidik Polda Sulut yang sedang menyidik kasus kami, jangan sampai orang yang sudah meninggal dijadikan tersangka, dan yang berbuat kejahatan bebas," harapnya.
Prof Ing juga meminta Kapolda Sulut mewujudkan janjinya untuk memberantas mafia tanah termasuk kasus yang menimpanya.
"Mohon pengawasan Bapak Kapolda atas jalannya perkara kami. Harapan kami apa yang pernah bapak sampaikan ke kami untuk menyelesaikan kasus kami tanpa memandang siapa backing-nya dapat terealisasi karena itu sejalan dengan program kapolri untuk memberantas mafia tanah sampai ke beking-bekingnya dan jangan sampai orang yang sudah meninggal dijadikan tersangka," tambahnya
Prof Ing juga berharap Kadivpropam Mabes Polri dapat mengawasi proses sidang kode etik penyidik di Polda Sulut agar dapat berjalan sesuai hukum yang berlaku. Pasalnya, sampai saat ini proses sidang etik belum berjalan. Padahal, bukti pelanggaran etik sudah ditemukan oleh tim Waprof Mabes Polri, tetapi untuk proses sidang dilimpahkan ke Polda Sulut.
Di sisi lain, Sekjen FKMTI Agus Muldya Natakusuma mengungkapkan banyak tanah berstatus SHM masih bisa dirampas oleh mafia tanah, tanah SHM yang berganti kepemilikan atau dikuasai pihak lain tanpa proses jual beli yang sah.
"Kasus perampasan tanah SHM asli terbitan BPN yang dialami Guru Besar IPB ini hanya satu contoh. Ada Ratusan tanah SHM milik purnawirawan TNI/Polri di Kalimantan Timur. Ada tanah SHM Robert Sudjasmin di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang beli dari Departemen Keuangan, tanah SHM Ibu Sri Kurnia di Jakarta Timur, Pak Petrik di Tangerang, Ibu Ani di Bintaro dan banyak lagi. Ini nyata, terbit Sertifikat dari BPN di atas tanah korban," ungkapnya.
Agus menambahkan, ratusan pemilik tanah SHM di kavling Polda Kaltim di Balikpapan yang dibeli dengan mencicil saat mereka masih bertugas. Namun ketika sudah jadi purnawirawan, tanah mereka dijual, dibuldoser. "
"Ketika para purnawirawan dan keluarganya mengadukan kasus perampasan tanahnya ke Polda Kaltim, tidak langsung ditindaklanjuti dengan alasan ada surat segel. Mereka diminta ke pengadilan sengketa dulu. Ini kan kasus pidana. Sebelum lebaran purnawirawna ini sudah mengadu ke Mabes Polri," tambahnya.
Menurut Agus, Kapolri sudah tegas menyatakan akan memberantas beking mafia perampasan tanah. Kasus perampasan tanah seharusnya jadi perhatian Kapolri dan Presiden Jokowi serta jajaran di bawahnya. Sebab, perintah presiden untuk selesaikan persoalan tanah sudah dua tahun, tetapi seperti jalan di tempat.
"Seharusnya jajaran aparat terkait mempercepat proses penyelesaian kasus perampasan tanah. FKMTI sudah laporkan 11 kasus perampasan tanah sejak dua tahun lalu," ungkapnya.
Agus menyarankan agar penyelesaian sengkarut kepemilikan tanah tidak berlarut dengan cara adu data secara terbuka sehingga tidak timbul gesekan antar warga.
"Pak Jokowi, Pak Kapolri sejatinya ingin selesaikan konflik lahan. Menurut FKMTI caranya adalah dengan adu data terbuka. Korban siap adu data kepemilikan dan tidak perlu takut dikriminalisasi. Yang terbukti memalsukan dokumen sehingga bisa terbit sertifikat, itulah mafia tanahnya," tandasnya.
Jurnalis: Soleh
Editor: Mega