![]() |
Lambang Forum Komunikasi Pemuda Pecinta Alam Indonesia (FKPPAI). |
Vnn.co.id, Jakarta - Kewajiban untuk mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dalam UU Kehutanan dicoret lewat UU Omnibus Law Cipta Kerja. Maklumat yang sebelumnya ditetapkan oleh mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie itu, diubah dan diserahkan kepada pemerintah pusat di tingkat yang lebih rendah dari UU, yaitu Peraturan Pemerintah (PP).
Sebenarnya, Maklumat 30 persen kawasan hutan tersebut tercantum dalam Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang disahkan pada 30 September 1999. Setelah itu, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu atasnya, yaitu menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004 pada 11 Maret 2004, namun tak ada yang diubah sedikit pun.
Tujuan dari Maklumat itu sendiri telah dijelaskan dalam bab penjelasan UU Kehutanan, yang mana hal ini mempertimbangkan kondisi fisik, iklim, penduduk, dan keadaan warga setempat, Sehingga ditetapkanlah luas kawasan hutan dalam setiap DAS dan atau pulau minimal 30 persen dari luas daratan.
Dengan adanya peraturan ini, pemerintah tak boleh sembarangan mengurangi luas kawasan hutan, meskipun daerah yang hutannya sudah di atas 30 persen. Hal ini juga digunakan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Begitu pun bagi daerah yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen, maka UU ini memerintahkan agar dilakukan penambahan luas.
Namun, para penyusun Omnibus Law memiliki alasan tersendiri untuk menghapus peraturan 30 persen, tertuang dalam naskah Omnibus Law halaman 1347 yang berbunyi,
"Kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen ini sudah tak relevan dengan perkembangan saat ini, mengingat di Pulau Jawa sendiri kawasan hutan sudah kurang dari 30 persen."
Akan tetapi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) mencatat bahwa beberapa fraksi di DPR sempat menolak kebijakan ini pada 23 September 2020. Mereka (yang menolak) meminta untuk tetap mempertahankan syarat minimal 30 persen itu.
Meskipun demikian, pemerintah tetap mengaskan keputusannya (menghilangkan syarat minimal 30 persen) dalam keterangan resmi, 8 Oktober 2020.
Menanggapi hal itu, sebuah wadah himpunan pecinta alam seluruh Indonesia, atas nama Perkumpulan Forum Komunikasi Pemuda Pecinta Alam Indonesia (FKPPAI), yang bertempat di Jakarta Timur dibentuk dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 21 Oktober 2020.
Organisasi yang berslogan "Bersatu Peduli Alam Indonesia" ini mempunyai visi misi bersinergi dan berkolaborasi untuk ikut serta mendukung pemerintah dalam melestarikan alam dan kemanusiaan.
A.S. Barkah, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuda Pecinta Alam Inndonesia (FKPPAI) kepada media vnn.co.id, Minggu (29/11/20), menyatakan harapan dengan dibentuknya organisasi ini, "Mendorong UU Omnibus Law Cipta Kerja untuk yudisial review kebijakan terkait mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan yang dicoret."
Selain itu, wadah pecinta alam ini mempunyai alasan mengapa hutan itu harus dijaga dan dilestarikan, di antaranya:
- Menjaga keseimbangan iklim
- Sebagai paru-paru dunia
- Mencegah erosi dan banjir
- Menjaga kesuburan tanah
- Menjaga kelestarian keanekaragaman hayati
- Tempat penampungan air hujan
- Mencegah intrusi air asin
- Mengatur siklus air dalam tanah
- Penjualan hasil hutan