TEKS.! Argumentasi Fraksi PKS Menolak Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang. -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

TEKS.! Argumentasi Fraksi PKS Menolak Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang.

, 5/06/2020 11:02:00 AM
Argumentasi Fraksi PKS Menolak Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 
2020 Menjadi Undang-Undang

A. Potensi Melanggar Konstitusi

1. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU No. 1 Tahun 2020 berpotensi melanggar 
konstitusi disebabkan beberapa pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD NRI 
1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang 
mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan Negara. 
Pertama, PERPPU di Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan postur dan/atau 
rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan 
kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 
Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur 
dalam Undang-Undang atau yang setara. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 
1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap 
tahun. Kemudian, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh 
DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD NRI Tahun 1945. 

2. Kedua, PERPPU di Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, 
anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank 
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat 
lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang￾Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam 
melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan 
termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini bukan merupakan objek 
gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Maka hal ini 
bertentangan dengan prinsip supermasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD 
NRI Tahun 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat 
tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. UUD NRI tahun 
1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan 
yang sama di hadapan hukum.

3. Ketiga, PERPPU Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan 
Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan 
pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara 
termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan 
stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian 
dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan 
kerugian negara. Maka hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan 
meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi. Padahal Peran BPK untuk 
memeriksa tanggung jawab keuangan adalah amanat konstitusi, sesuai dengan Pasal 23 
ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

4. UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin adanya distribution of power sehingga mekanisme 
check and balances dapat bekerja dengan baik. Bahwa DPR memegang kekuasaan 
membentuk UU (Pasal 20 ayat 1) dan memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi 
pengawasan (Pasal 20A ayat1). Sedangkan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 ayat 1) dan bahwa MK dan MA memiliki Kekuasaan kehakiman merupakan 
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum 
dan keadilan (Pasal 24 ayat 1). Serta bahwa ada 10 lembaga dalam sistem ketatanegaraan 
Indonesia (Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, KY, BPK, Bank Sentral, dan KPU). Dengan 
memperhatikan jaminan yang dikokohkan dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait tentang 
supremasi Hukum, Pembentukan Undang-Undang, Pembentukan APBN, juga hak dan 
kewajiban Lembaga-lembaga negara, maka beberapa Pasal krusial dalam PERPPU No. 1 
tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
berpotensi melanggar UUD NRI Tahun 1945.

B. Terkait UU, APBN dan Kebijakan Fiskal

5. Fraksi PKS berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 28 PERPPU No. 1 Tahun 2020, sejumlah 
pasal peraturan perundangan yang terkait dinyatakan tidak berlaku sehingga berpengaruh 
pada sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Peraturan 
perundang-undangan yang terkait tersebut antara lain: UU Keuangan Negara, UU APBN 
2020, UU MD3, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, UU Pemda, UU 
Desa, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Kesehatan, UU Perbendaharaan 
Negara dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Fraksi PKS 
berpendapat bahwa hal tersebut membuat kewenangan Pemerintah menjadi sangat besar 
dan tidak terbatas. Sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse 
of power) dan dapat merusak sistem tata kelola APBN, Keuangan negara dan moneter 
yang baik. PERPPU telah merubah sistem tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter 
dengan jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini diakibatkan tidak adanya limitasi waktu 
terkait PERPPU atau jangka waktunya bersifat fleksibel, berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 
28 PERPPU. Selain itu, pasal-pasal UU yang dinyatakan tidak berlaku oleh PERPPU, tidak 
bisa digunakan sepanjang PERPPU masih berlaku.

6. Fraksi PKS berpendapat PERPPU No 1 Tahun 2020 telah memusatkan kekuasaan 
pengelolaan APBN, keuangan negara dan sumber-sumber moneter kepada Pemerintah 
dengan mereduksi fungsi kontrol dan tata kelola yang baik. Perppu telah memangkas 
kewenangan DPR dan memaksa bank sentral untuk membiayai defisit fiskal. Pemusatan 
kekuasaan ini mencederai prinsip tata kelola pemerintahan modern yang demokratis, 
akuntabel dan memiliki cek and balances. Hal ini terlihat jelas dari sejumlah pasal UU yang 
dinyatakan tidak berlaku dalam UU MD3 dan UU Bank Indonesia. Kewenangan DPR 
dipangkas dengan tidak berlakunya beberapa ketentuan dalam UU MD3. Pemangkasan ini 
berdampak pada kewenangan DPR dalam persetujuan atas rincian APBN dan juga 
pembahasan APBN Perubahan, sehingga menjadi kewenangan penuh Pemerintah dan 
akan disusun dalam Perpres tanpa kewajiban membahas dengan DPR. Konsekuensinya 
jika PERPPU ini terus berlaku, maka tidak ada APBN Perubahan dan persetujuan rincian 
APBN oleh DPR.

7. Fraksi PKS mencermati terkait dengan Batas Atas Defisit yang tidak ditentukan akan 
mereduksi prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan Negara. PERPPU Pasal 2 
menyatakan bahwa defisit anggaran: “(1) melampaui 3% (tiga persen) dari Produk 
Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) 
dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional 
dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun 
Anggaran 2022”. Dalam klausul pasal tersebut di atas hanya menyebutkan melampaui 3% dari PDB, tetapi tidak menjelaskan batas atasnya. Fraksi PKS berpendapat tidak adanya 
Batas Atas penentuan defisit APBN terhadap PDB, berpotensi menjadi tidak terkontrol. 
Sehingga akan menyebabkan belanja APBN menjadi tidak prudent dan menyebabkan 
membengkaknya utang. Batas atas defisit diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan 
agar risiko keuangan akibat defisit menjadi terukur dan terkelola (managable).

8. Fraksi PKS berpendapat Pemerintah tetap perlu menetapkan batas atas defisit anggaran. 
Tanpa ada batas atas dikhawatirkan defisit akan membengkak tanpa ada mekanisme 
kontrol yang kuat. Perlu menjadi catatan bahwa rasio utang PDB sudah mencapai 30%, 
serta kemampuan bayar Indonesia pada dasarnya rendah, karena tax ratio yang hanya 
berkisar antara 10-11%. Lebih lanjut, saat ini beban dari bunga utang sudah sangat besar 
dalam APBN. Sekitar 11,6% dari total belanja Pemerintah adalah untuk membayar cicilan 
bunga utang. Artinya kondisi utang Indonesia tidak dalam keadaan yang cukup baik. 
Terlebih, selama lima tahun terakhir rasio utang terhadap PDB terus mengalami 
peningkatan, yang artinya pertumbuhan utang jauh melebihi pertumbuhan produksi. Oleh 
sebab itu, tambahan utang di era krisis seperti saat ini perlu dikendalikan dan 
direncanakan dengan baik. Fraksi PKS mengingatkan di saat resesi seperti sekarang, biaya 
utang Pemerintah sangatlah tinggi. Hal tersebut terlihat dari data Indonesia Government 
Bondy 10Years. Pada 5 Maret, 3 hari setelah pengumuman pasien Covid-19 pertama, yield 
Indonesia masih pada level 6,54%, saat ini terus meningkat mencapai 8%. Artinya, Ketika 
defisit tidak dikontrol dengan baik, maka beban utang, karena tingginya bunga, akan terus 
membengkak, yang pada akhirnya akan menjadi beban bagi anak cucu kelak.

9. Fraksi PKS berpendapat bahwa program pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya 
bisa berjalan ketika Rakyat berhasil diselamatkan. Sehingga insentif pemerintah terhadap 
kesehatan dan Jaminan Sosial adalah hal yang penting dan sangat mendesak dan harus 
menjadi prioritas sebelum program pemulihan ekonomi. Pemerintah telah berencana 
untuk memberikan tambahan belanja dan pembiayaan sebesar Rp405,1 triliun yang terdiri 
atas insentif kesehatan Rp75 triliun, insentif sosial safety net Rp110,1 triliun, insentif 
terhadap industri Rp70,1 triliun, dan insentif pemulihan ekonomi Rp150 triliun. Namun hal 
tersebut menjadi tidak konsisten karena jumlah insentif Kesehatan dan Insentif Jaminan 
sosial lebih kecil dari insentif pemulihan ekonomi dan insentif industri yaitu sebesar Rp185 
triliun dan Rp220,1 triliun. Fraksi PKS mendorong agar pemerintah dapat konsiten untuk 
fokus terlebih dahulu kepada penanganan Pandemi COVID-19 dan jaminan sosial. Fraksi 
PKS mencatat bahwa Insentif pemulihan ekonomi mendapat porsi yang lebih besar jika 
dibandingkan dengan insentif kesehatan, dan insentif jaminan sosial yaitu Rp75 triliun dan 
Rp110 triliun. Fraksi PKS berpendapat bahwa insentif pemulihan ekonomi sebesar Rp150 
triliun perlu direncanakan dengan detail bersama dengan DPR RI serta stakeholder terkait. 
Fraksi PKS mendesak agar pemerintah dapat memberikan perancanaan penggunaan 
insentif pemulihan ekonomi kepada publik lebih detail lagi dan memastikan tata kelola
penggunaan insentif tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan keuangan negara. Fraksi 
PKS juga menilai anggaran kesehatan dan anggaran bantuan sosial secara umum masih 
kurang memadai.

10. Fraksi PKS mempertanyakan program pemulihan ekonomi nasional (Pasal 11) serta 
anggarannya yang mencapai Rp 150 Triliun. Pemerintah mengatakan bahwa anggaran 
tersebut merupakan “below the line” yang dimasukkan pada kategori pembiayaan 
investasi Pemerintah. Fraksi PKS mengkritisi bentuk pemulihan yang dipilih oleh 
Pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan 
penjaminan. Ketiga model program tersebut memiliki potensi penyelewengan yang tinggi apabila tidak diatur secara rinci. Model pemulihan tersebut memerlukan target dan 
parameter yang jelas, yang hingga saat ini belum disediakan oleh Pemerintah. Pemerintah 
belum memberikan penjelasan mengenai mekanisme PMN, penempatan investasi serta 
penjaminan yang akan dilakukan, serta sasaran strategisnya. Pemerintah belum 
memperinci siapa yang layak mendapatkan penjaminan, sektor apa saja, dan Lembaga 
keuangan yang akan ditugaskan untuk menyalurkan penjaminan. Fraksi PKS berpendapat 
hal ini dapat membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan 
tersebut akan dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja.

11. Fraksi PKS berpendapat aturan PERPPU yang memperbolehkan Bank Indonesia membeli 
surat berharga negara di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan 
Pemerintah perlu ditinjau Kembali. Setidaknya terdapat dua isu besar terkait hal ini:
pertama, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan inflasi yang tinggi. Fraksi PKS 
menilai angka inflasi bisa lebih tinggi karena sumber tekanan cukup banyak. Tekanan 
pertama berasal dari ketersediaan pangan di daerah, yang pada akhirnya mendorong 
inflasi volatile food. Apalagi, saat ini, jalur distribusi di beberapa daerah terputus karena 
penutupan sementara. Selain itu, harga bahan pangan juga akan melambung karena 
gagal panen karena musim penghujan. Jika sejak awal pemerintah memiliki sistem 
penyimpanan bahan pangan (stock) yang baik, maka persoalan inflasi tidak akan serumit 
saat ini. Kedua, pembelian asset Pemerintah oleh Bank Indonesia dalam skala besar 
dikhawatirkan justru akan menimbulkan persepsi negatif, seperti buruknya stabilitas 
keuangan nasional dan potensi inflasi tinggi. Persepsi negatif tersebut dapat mendorong 
investor keluar, sehingga menyebabkan capital flight. Hal tersebut pada akhirnya dapat 
memperburuk cadangan devisa dan semakin memperlemah nilai tukar rupiah.

12. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU, maupun aturan turunannya, Perpres 54/2020, 
tidak memberikan komitmen yang jelas mengenai anggaran penanganan wabah Covid￾19. Pemerintah berulangkali menyatakan akan menggelontorkan Rp 405 Triliun, akan 
tetapi angka tersebut tidak pernah tercantum dalam berbagai aturan yang telah 
diturunkan. Fraksi PKS mendorong Pemerintah untuk lebih transparan dalam hal realokasi 
dan kebijakan anggaran dalam penanganan wabah Covid-19.

13. Fraksi PKS menilai bahwa kebijakan PERPPU memiliki ketidak-jelasan keberpihakan 
terhadap kelompok Masyarakat Mendekati Miskin, Rentan dan Terdampak. PERPPU No. 1 
Tahun 2020 tidak memberikan banyak ruang bagi perlindungan masyarakat 
berpenghasilan terendah yang terdampak yang belum masuk pada program PKH dan 
Kartu Sembako. Bahkan tidak ada satu pasal secara eksplisit yang terkait dengan 
kebijakan terhadap kelompok masyarakat mendekati miskin, rentan dan terdampak 
tersebut. Sehingga alokasi Rp405 triliun dikhawatirkan tidak akan banyak membantu bagi 
kehidupan mereka dan juga pada masa pemulihan nantinya.

14. Fraksi PKS menilai bahwa PERPPU masih kurang berpihak terhadap UMKM dalam Program 
Pemulihan Ekonomi Nasional. PERPPU No. 1 Tahun 2020 mengatur mengenai pelaksanaan 
program pemulihan ekonomi nasional. Sebagaimana terdapat dalam pasal 11 ayat (1)-(7) 
bahwa pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional lebih banyak terkait dengan 
pemulihan BUMN dan dan investasi Pemerintah. Tidak banyak menyebutkan mengenai 
program pemulihan UMKM dan sektor usaha, padahal sektor ini menghimpun 59,2 juta 
pengusaha. Fraksi PKS berpendapat bahwa seharusnya pemulihan UMKM menjadi 
prioritas utama pemulihan ekonomi nasional. Fraksi PKS meminta pemerintah agar sektor 
UMKM menjadi prioritas utama dalam membantu menghadapi dampak ekonomi akibat COVID-19. UMKM adalah sektor yang paling banyak merasakan dampak selama 
penangangan COVID-19. Mulai dari terhambatnya aktivitas produksi, penjualan hingga 
masalah permodalan. Seharusnya ini menjadi kesempatan bagi Pemerintah untuk 
memperkuat posisi UMKM bagi Perekonomian nasional, sehingga pasca COVID-19 
nantinya, UMKM bisa tumbuh dan berkembangan menjadi sumber pertumbuhan baru dan 
lokomotif bagi perekonomian nasional.

c. Terkait Sistem Keuangan

15. Fraksi PKS berpendapat bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 telah membuka peluang
terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan 
negara yang bersifat tidak adil. Fraksi PKS menilai bahwa skema bail-out memunculkan 
ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelematan bank melalui peran 
pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in). Skema bail-in sebagaimana 
disebutkan pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK seharusnya tetap digunakan dan 
diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat dan bisnisnya pun 
menjamur ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak mampu 
menggunakan skema bail-in.

16. Fraksi PKS berpendapat bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal 
penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah 
menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 
1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun 
ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat 
secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan. Segelintir 
kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi 
Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap 
memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi 
lanskap sosial dan politik hari ini. Fraksi PKS menolak skema bail-out dari keuangan negara 
atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya.

17. Fraksi PKS berpendapat bahwa PERPPU No. 1 Tahun 2020 memunculkan potensi lahirnya 
kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) simpanan nasabah kaya yang melukai 
keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa 
LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan 
simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau 
peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut 
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sementara pada pasal 22 ayat 1 ditegaskan 
bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian 
nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program 
penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU mengenai LPS. Dengan 
penjaminan penuh (full guarantee) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya 
akan dijamin oleh pemerintah. Tentu, hal ini berpotensi memunculkan moral hazard dan 
akan menimbulkan beban negara yang sangat besar.

18. Fraksi PKS berpendapat bahwa pembelian SBN di pasar perdana oleh Bank Indonesia (BI)
dapat menyebabkan pasar terdistorsi. Pada Pasal 19 PERPPU disebutkan bahwa BI dapat 
membeli Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) 
berjangka panjang sebagai sumber pendanaan bagi pemerintah. PERPPU telah menghapus Pasal 55 ayat 4 pada UU BI yang telah menetapkan bahwa BI dilarang 
membeli untuk diri sendiri surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Masuknya BI 
ke pasar perdana berpotensi menyebabkan distorsi pasar dan mendorong naiknya 
jumlah uang beredar. Kondisi tersebut akan mendorong naiknya inflasi. Lonjakan inflasi, 
pada akhirnya, akan menekan Rakyat berpendapatan menengah ke bawah. Fraksi PKS 
juga memperingatkan bahaya pencetakan uang tanpa underliying, yang dapat 
menyebabkan hyper inflasi dan dapat memukul daya beli rakyat.

Dengan berbagai pertimbangan dan catatan di atas Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 
Menolak Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan 
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi 
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi 
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem 
Keuangan Menjadi Undang-Undang tersebut. Fraksi PKS medesak Pemerintah untuk 
fokus membantu dan melindungi rakyat dari segala dampak musibah Covid-19, 
melalui bantuan-bantuan kesehatan dan bantuan sosial langsung dan segera kepada 
rakyat terdampak. Fraksi PKS mendorong Pemerintah agar mengganti Perpu No. 1 
Tahun 2020 dengan Perppu yang memperhatikan dan memasukkan poin-poin dalam 
pendapat mini Fraksi PKS tersebut di atas agar tidak menimbulkan berbagai masalah 
yang merugikan keuangan negara dan rakyat dikemudian hari.

Source Draft Fraksi PKS.

TerPopuler

close