BREAKING NEWS
IKLAN PENERJEMAH

Kampus Seharusnya Rumah Bukan Arena Perploncoan

 


VNN.co.id - Publik Indonesia dikejutkan oleh video viral dari Universitas Sriwijaya di Ogan Ilir Sumatera Selatan. Rekaman itu memperlihatkan mahasiswa baru Program Studi Teknologi Pertanian dipaksa mencium kening satu sama lain oleh para senior dalam kegiatan ospek Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian, Sabtu (20/09/2025). Aksi tersebut segera menuai kecaman luas karena dianggap melecehkan martabat manusia dan berpotensi menimbulkan trauma psikologis.

Kasus ini terungkap dari unggahan seorang mahasiswa baru di media sosial yang kemudian memicu gelombang protes. Unsri langsung membentuk tim investigasi melalui Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi. Sebanyak 15 mahasiswa senior telah diperiksa termasuk pengurus inti Himateta. Sebagai bentuk tanggung jawab organisasi tersebut dibekukan selama satu tahun.

Kementerian Pendidikan Tinggi turut menegaskan pentingnya kampus yang aman dan inklusif bagi seluruh mahasiswa. Namun di balik langkah cepat itu, kasus Unsri menunjukkan bahwa budaya perploncoan masih mengakar kuat dan sering disamarkan sebagai tradisi yang dianggap lumrah.

Perploncoan bukan sekadar candaan atau ujian mental. Ini adalah bentuk kekerasan psikologis yang meninggalkan luka mendalam. Mahasiswa baru yang penuh harapan tiba-tiba dipaksa melampaui batas diri demi diterima oleh senior. Penelitian menunjukkan korban perploncoan lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan kehilangan motivasi belajar.

Fenomena ini bukan hal baru. Dari kasus ospek yang berujung kekerasan di UGM hingga peristiwa serupa di berbagai perguruan tinggi lain, semua menggambarkan kegagalan membangun budaya kampus yang sehat. Senior yang dulu pernah dipermalukan kini mengulang perilaku yang sama, menciptakan rantai kekerasan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Langkah Unsri dan Kemendikbudristek patut diapresiasi, tetapi reformasi sejati tidak cukup berhenti pada sanksi administratif. Perlu perubahan sistemik mulai dari pembaruan pedoman ospek nasional, keterlibatan psikolog kampus, sistem pelaporan digital anonim, hingga pelatihan empati bagi para senior.

Kampus seharusnya menjadi rumah yang aman, bukan tempat uji ketahanan sosial. Pendidikan tinggi seharusnya menumbuhkan generasi yang menghormati manusia, bukan yang menjadikan penghinaan sebagai tradisi. Kasus Unsri adalah cermin yang memaksa kita menatap ulang wajah pendidikan kita sendiri. Sudah waktunya berhenti menormalisasi kekerasan atas nama kebersamaan dan mulai menumbuhkan empati sebagai nilai dasar kehidupan akademik.***


*** Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Felicia Fitri Larisa. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

*** Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

close