Paradoks Penjara dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika
VNN.co.id - Paradoks penjara dalam konteks kejahatan narkotika menunjukkan kontradiksi mendasar antara fungsi ideal lembaga pemasyarakatan dan realitas empiris di lapangan.
Secara normatif, penjara dirancang sebagai tempat hukuman sekaligus pembinaan bagi pelanggar hukum agar mereka menyesali perbuatannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kejahatan serupa setelah keluar.
husus bagi narapidana kasus narkotika, penjara diharapkan menjadi ruang rehabilitasi sosial dan moral untuk memutus rantai peredaran gelap narkoba.
Namun, dalam kenyataannya, banyak laporan dan temuan yang justru menunjukkan bahwa penjara menjadi locus baru bagi jaringan peredaran narkotika.
Narapidana pengedar bahkan masih bisa mengendalikan distribusi narkoba dari balik jeruji, menggunakan alat komunikasi ilegal atau bekerja sama dengan oknum petugas.
Fenomena ini menciptakan ironi besar, lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum justru berubah menjadi titik lemah dalam sistem pemberantasan narkoba.
Situasi tersebut menimbulkan pertanyaan moral dan struktural, apa makna hukuman jika penjara gagal menimbulkan efek jera?
Bila individu yang telah dihukum masih dapat mengulangi kejahatan dari dalam lembaga pemasyarakatan, maka fungsi korektif dan edukatif sistem peradilan pidana patut dipertanyakan.
Alih-alih menimbulkan efek jera (deterrent effect), penjara justru berpotensi menciptakan efek sebaliknya, yaitu memperkuat jejaring kriminal dan melahirkan bentuk baru kejahatan terorganisasi di balik sistem.
Lebih jauh lagi, keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam memfasilitasi masuknya narkoba ke dalam penjara memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Fenomena ini bukan hanya menunjukkan krisis integritas lembaga, tetapi juga kegagalan struktural dalam tata kelola pengawasan dan etika penegakan hukum.
Penjara yang seharusnya menjadi simbol keadilan berubah menjadi cermin ketidakberdayaan institusi menghadapi korupsi moral dan jaringan kekuasaan gelap di dalamnya.
Paradoks penjara ini menegaskan perlunya reformasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia. Pembenahan tidak cukup hanya dengan memperketat keamanan fisik, tetapi harus menyentuh dimensi etika, budaya hukum, dan pengawasan berbasis teknologi transparan.
Selain itu, penguatan sistem rehabilitasi dan pendidikan narapidana perlu dikembalikan pada orientasi kemanusiaan dan keadilan sosial, agar penjara benar-benar menjadi tempat pembinaan, bukan perpanjangan tangan jaringan kejahatan.
Ditulis oleh Barkah Alam dari Dharmaloka Institute***



