Pernting
kiranya kita menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran kiai Dahlan untuk refleksi
pergerakan aktivis-aktivis dakwah khsususnya kader-kader persyarikatan
Muhammadiyah untuk menjalankan program-program dakwah Islam untuk gerakan
dakwah berkemajuan.
Museum
Kebangkitan Nasional Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan saat 107 Tahun
Kebangkitan Nasional menerbitkan buku berjudul K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) Buku itu ditulis oleh Dr. Abdul Mu’thi
. M.Ed, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Prof. Dr. Djoko Marihandono , dan Tim
Museum Kebangkitan Nasional dengan editor
Prof. Dr. Djoko Marihandono.
Yang menarik
dari buku ini adalah buku ini banyak menyajikan dasar pemikiran KH. Ahmad
Dahlan yang termanifestasi dalam bentuk amal usaha di bidang pendidikan,
kesehatan dan lain-lain. Tentunya saya tidak bisa menyajikan seluruhnya tapi
semoga ini bisa menjadi pengantar untuk mendiskusikan pemikiran kiai Dahlan di
setiap AUM, Ortom dan sampai kepada gerakan akar rumput ranting Muhammadiyah.
Beberapa
gagasan Kiai Dahlan berhubungan dengan problem teologis dan epistemologis dalam
pemikiran Islam, tapi pembaharuan dan
reformasi sosial-budaya yang dilakukan lebih beroperasu pada wilayah praksis.
Sulit diperoleh data mengenai jalan pikiran Kiai Dahlan ketika menafsirkan
surat Ali Imran ayat 104 sebagai dasar dan alasan baginya mendirikan organisasi
modern sebagai instrumen dari berbagai ritual ibadah yang difungsikan bagi pemecahan
problem kehidupan manusia.
Informasi
tentang jalan pikiran Kiai Dahlan ketika menafsirkan surat Al-Maun sebagai
dasar inovasi kreatifnya dalam berbagai aksi pemberdayaan yatim-piatu, anak
gelandangan dan jalanan, kaum terlantar dan korban perang. Pemberdayaan kaum
perempuan dalam dunia pendidikan dan ruang publik ketika gerakan feminisme
belum muncul di Eropa lebih didasari pertimbangan pragmatis mengenai peran
perempuan di dalam kehidupan sosial dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
luas.
Sulit dicari
contohnya dalam sejarah Islam atau pemikiran Islam ketika kiai Dahlan
mendirikan organisasi beserta inovasi kreatifnya tentang berbagai model
pemberdayaan kaum perempuan, kaum proletar dan tertindas (mustadl’afin)
melalui lembaga rumah sakit, pondok penampungan gelandangan, kaum terlantar,
dan korban perang.
Berbagai
bentuk pemberdayaan perempuan dan kaum proletar yang dilakukan Kiai Dahlan itu
terinspirasi dari pergaulannya dengan elite kerajaan, priyayi Jawa, pejabat
kerajaan Belanda, pendeta dan pastur. Sayang model gerakan yang belakangan
populer dikalangan aktivis LSM ini tampak semakin terasing dari aktivis dan
kegiatan Muhammadiyah, ketika gerakan ini tumbuh besar. Kiai Dahlan sendiri
ketika itu adalah seorang punggawa (pejabat) Kerajaan Yogyakarta tanpa
pendidikan formal, tapi bergaul dengan berbagai kalangan luas dari elite Jawa
hingga pejabat kolonial, pendeta dan pastur.
Gagasan dan
cara hidup kiai Dahlan selanjutnya bisa di kaji dari saat-saat akhir hidup dan
pesan-pesan terakhir beberapa saat sebelum wafat seberti berikut ini:
a. “Mengapa engkau begitu semangat saat
mendirikan rumah mu agar cepat selesai, sedangkan gedung untuk keperluan
persyarikatan Muhammadiyah tidak engkau
perhatikan dan tidak segera diselesaikan”?
b. “Hendaklah tiap orang membelanjakan
haryta dan kekayaan yang masih dikuasai bagi kepentingan umat sebelum
kehilangan kekuasaan atas harta dan kekayaan.”
c. Kiai sering meminjam uang bukan bagi
kepentingan hidupnya, tapi bagi pembiayaan membangun gedung sekolah
d. Ketika Kiai dituduh kafir karena
mempergunakan peralatan modern dalam mengajar, ia meminta pengkritiknya
berjalan kaki saat berpergian dan tidak naik kereta api atau mobil umum
e. Ketika mendengar seorang aktivis
Muhammadiyah beberapa hari tidak ikut rapat akibat sibuk ngurusi anaknya, Kiai
berucap bahwa anak itu nanti diambil Tuhan agar tidak menghalangi kerja
sosialnya.
Pemberian label bagi gerakan Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah
bisa dikemukakan dalam uraian berikut. Penyebutan beberapa pilihan label
akademis di bawah ini memang masih perlu dikaji lebih lanjut. Dari sini para
ahli Sosiologi khususnya Sosiologi Agama bisa dilibatkan dalam melakukan studi
lebih lanjut sehingga pemberian label gerakan yang dirintis Kiai Dahlan
didukung oleh sejumlah bukti ilmiah.
a. Etika Guru-Murid. Kiai Dahlan terus menerus mendorong
masyarakat, umat dan warga Muhammadiyah untuk belajar kepada siapa saja dan
dalam situasi apa saja. Hasil belajar itu bukan hanya harus di praktikan, tapi
wajib disebarkan kepada siapa saja, di mana saja, dengan kemampuan dan
peralatan yang di miliki. Dari sini gagasan dan gerakan Kiai Dahlan bisa
disebut sebagai Etika Guru-Murid.
b. Etika Profetis. Terma ini bisa dipertimbangkan ketika gerakan
ini sekurangnya pada masa Kiai Dahlan begitu peduli membela dan menyantuni kaum
terpinggir dan menderita serta miskin. Hampir seluruh kerja sosial Muhammadiyah
pada periode awal didasari semangat profetis tersebut. Rumah sSakit, Panti
Asuhan Yatim Piatu, Rumah miskin, Rumah Anak Jalana, Rumah Kaum Terlantar,
Pendidikan, merupakan pelembagaan bagi kerja penyantunan, pemeliharaan dan
pemberdayaan kaum tertindas.
Kini, Setelah satu abad, banyak warga bangsa ini memperoleh
manfaat jasa sosial gerakan ini. Irinisnya, banyak aktivis Muhammadiyah masih
bersikap sektoral, agar memanfaatkan jasa sosialnya mengikuti fatwa Tarjih dan
mengikuti anggota Muhammadiyah. Ketika memiliki peluang menduduki jabatan
strategis dalam struktur gerakan ini, sentimen sektoral dimunculkan seperti
model :darah biru” gerakan. Saat perempuan yang dulu nunit kamukten (diuntungkan) amal sosial dan kesetaraan gender,
lebih lantang menyuarakan identitas aslinya, Muhammadiyah dan Aisyiyah terlalu
puritan, jaga imej, enggan tampil ke publik secara lugas penuh percaya diri
membawakan ide-idepembaruannya.
Muncul kesan, sementara warga Muhammadiyah ber-“darah biru”
menikmati ke-“darah-biru’-an kemodernan tajdid, lupa melakukan tajdid dan
ijtihad. Mereka cenderung puas dengan apa yang selama ini dicapkan padany, tapi
merasa tersaingi saat “pengikut’ kemodernannya lebih piawai melakukan aksi-aksi
kritis dan ijtihadi, selain memiliki legalitas kemodernan berikut gelar
akademiknya.
Dulu, basis
pengetahuan (terutama kitab kuning) nyai-nyai Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dan nyai-nyai pesantren ( NU belum lahir) relatif
setara. Hingga 1980-an ‘Aisyiyah berada pada posisi di atas angin dibanding
nyai-nyai Ppesantren. Kini, banyak lulusan luar negeri kalangan dari pesantren,
berkemampuan bahasa Arab dan Inggris, disertai pencarian identitas sosial
agresif, walau kadang proyek. Sementara ‘Aisyiyah terlalu jaga imej, mriyayeni, penuh aturan dan protokoler.
Dalam buku ini ditutup dengan kesimpulan bahwa Kesuksesan
Kiai Dahlan dalam melaksanakan pembaharuan dalam kehidupan masyarakat
dikarenakan sikap dan perilakunya yang layak untuk diteladani. Masyarakat
menilai perkataan dan tindakan Kiai Dahlan selalu selaras sehingga tidak ada
alasan untuk menolak gagasan-gagasan-nya. Dukungan dari masyarakat luas ini menjadikan gagasan-gagasan
kyai Dahlan terus berkembang dan menyebar keseluruh pelosok daerah di
Nusantara.
Gagasan sang pencerah ini harus terus dihupkan dalam
diskusi-diskusi warga Muhammadiyah dan para kader Muhammadiyah agar tetap runut
dalam pemikiran untuk menyambut gerakan berkemajuan.