Menyelami Pemikiran Sang Pencerah Lebih Dalam -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Menyelami Pemikiran Sang Pencerah Lebih Dalam

, 3/02/2024 12:13:00 PM


 Vnn.co.id, Kabupaten Bogor - Mungkin sudah banyak yang menulis dan membahas soal KH. Ahmad Dahlan sebagai ulama pembaharu gerakan Islam di Indonesia dan mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah yang hari ini memiliki amal usaha terbanyak dan tersebar di seluruh Indonesia dan juga di negara-negara lain. Tapi kajian-kajian mengenai pemikiran Kiai Dahlan ini yang menjadi refleksi beliau mendirikan gerakan dakwah Muhammadiyah ini jarang kita temukan bahkan dalam agenda-agenda berkelanjutan organisasi otonom persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri.

 

Pernting kiranya kita menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran kiai Dahlan untuk refleksi pergerakan aktivis-aktivis dakwah khsususnya kader-kader persyarikatan Muhammadiyah untuk menjalankan program-program dakwah Islam untuk gerakan dakwah berkemajuan.

 

Museum Kebangkitan Nasional Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan saat 107 Tahun Kebangkitan Nasional menerbitkan buku berjudul K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) Buku itu ditulis oleh Dr. Abdul Mu’thi . M.Ed, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Prof. Dr. Djoko Marihandono , dan Tim Museum Kebangkitan Nasional dengan  editor Prof. Dr. Djoko Marihandono.

 

Yang menarik dari buku ini adalah buku ini banyak menyajikan dasar pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang termanifestasi dalam bentuk amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Tentunya saya tidak bisa menyajikan seluruhnya tapi semoga ini bisa menjadi pengantar untuk mendiskusikan pemikiran kiai Dahlan di setiap AUM, Ortom dan sampai kepada gerakan akar rumput ranting Muhammadiyah.

 

Beberapa gagasan Kiai Dahlan berhubungan dengan problem teologis dan epistemologis dalam pemikiran Islam,  tapi pembaharuan dan reformasi sosial-budaya yang dilakukan lebih beroperasu pada wilayah praksis. Sulit diperoleh data mengenai jalan pikiran Kiai Dahlan ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 104 sebagai dasar dan alasan baginya mendirikan organisasi modern sebagai instrumen dari berbagai ritual ibadah yang difungsikan bagi pemecahan problem kehidupan manusia.

 

Informasi tentang jalan pikiran Kiai Dahlan ketika menafsirkan surat Al-Maun sebagai dasar inovasi kreatifnya dalam berbagai aksi pemberdayaan yatim-piatu, anak gelandangan dan jalanan, kaum terlantar dan korban perang. Pemberdayaan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ruang publik ketika gerakan feminisme belum muncul di Eropa lebih didasari pertimbangan pragmatis mengenai peran perempuan di dalam kehidupan sosial dalam lingkungan keluarga dan masyarakat luas.

 

Sulit dicari contohnya dalam sejarah Islam atau pemikiran Islam ketika kiai Dahlan mendirikan organisasi beserta inovasi kreatifnya tentang berbagai model pemberdayaan kaum perempuan, kaum proletar dan tertindas  (mustadl’afin) melalui lembaga rumah sakit, pondok penampungan gelandangan, kaum terlantar, dan korban perang.

 

Berbagai bentuk pemberdayaan perempuan dan kaum proletar yang dilakukan Kiai Dahlan itu terinspirasi dari pergaulannya dengan elite kerajaan, priyayi Jawa, pejabat kerajaan Belanda, pendeta dan pastur. Sayang model gerakan yang belakangan populer dikalangan aktivis LSM ini tampak semakin terasing dari aktivis dan kegiatan Muhammadiyah, ketika gerakan ini tumbuh besar. Kiai Dahlan sendiri ketika itu adalah seorang punggawa (pejabat) Kerajaan Yogyakarta tanpa pendidikan formal, tapi bergaul dengan berbagai kalangan luas dari elite Jawa hingga pejabat kolonial, pendeta dan pastur.

 

Gagasan dan cara hidup kiai Dahlan selanjutnya bisa di kaji dari saat-saat akhir hidup dan pesan-pesan terakhir beberapa saat sebelum wafat seberti berikut ini:

a.      “Mengapa engkau begitu semangat saat mendirikan rumah mu agar cepat selesai, sedangkan gedung untuk keperluan persyarikatan Muhammadiyah  tidak engkau perhatikan dan tidak segera diselesaikan”?

b.      “Hendaklah tiap orang membelanjakan haryta dan kekayaan yang masih dikuasai bagi kepentingan umat sebelum kehilangan kekuasaan atas harta dan kekayaan.”

c.       Kiai sering meminjam uang bukan bagi kepentingan hidupnya, tapi bagi pembiayaan membangun gedung sekolah

d.      Ketika Kiai dituduh kafir karena mempergunakan peralatan modern dalam mengajar, ia meminta pengkritiknya berjalan kaki saat berpergian dan tidak naik kereta api atau mobil umum

e.      Ketika mendengar seorang aktivis Muhammadiyah beberapa hari tidak ikut rapat akibat sibuk ngurusi anaknya, Kiai berucap bahwa anak itu nanti diambil Tuhan agar tidak menghalangi kerja sosialnya.

 

Pemberian label bagi gerakan Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah bisa dikemukakan dalam uraian berikut. Penyebutan beberapa pilihan label akademis di bawah ini memang masih perlu dikaji lebih lanjut. Dari sini para ahli Sosiologi khususnya Sosiologi Agama bisa dilibatkan dalam melakukan studi lebih lanjut sehingga pemberian label gerakan yang dirintis Kiai Dahlan didukung oleh sejumlah bukti ilmiah.

a.      Etika Guru-Murid.  Kiai Dahlan terus menerus mendorong masyarakat, umat dan warga Muhammadiyah untuk belajar kepada siapa saja dan dalam situasi apa saja. Hasil belajar itu bukan hanya harus di praktikan, tapi wajib disebarkan kepada siapa saja, di mana saja, dengan kemampuan dan peralatan yang di miliki. Dari sini gagasan dan gerakan Kiai Dahlan bisa disebut sebagai Etika Guru-Murid.

b.      Etika Profetis.  Terma ini bisa dipertimbangkan ketika gerakan ini sekurangnya pada masa Kiai Dahlan begitu peduli membela dan menyantuni kaum terpinggir dan menderita serta miskin. Hampir seluruh kerja sosial Muhammadiyah pada periode awal didasari semangat profetis tersebut. Rumah sSakit, Panti Asuhan Yatim Piatu, Rumah miskin, Rumah Anak Jalana, Rumah Kaum Terlantar, Pendidikan, merupakan pelembagaan bagi kerja penyantunan, pemeliharaan dan pemberdayaan kaum tertindas.

 

Kini, Setelah satu abad, banyak warga bangsa ini memperoleh manfaat jasa sosial gerakan ini. Irinisnya, banyak aktivis Muhammadiyah masih bersikap sektoral, agar memanfaatkan jasa sosialnya mengikuti fatwa Tarjih dan mengikuti anggota Muhammadiyah. Ketika memiliki peluang menduduki jabatan strategis dalam struktur gerakan ini, sentimen sektoral dimunculkan seperti model :darah biru” gerakan. Saat perempuan yang dulu nunit kamukten (diuntungkan) amal sosial dan kesetaraan gender, lebih lantang menyuarakan identitas aslinya, Muhammadiyah dan Aisyiyah terlalu puritan, jaga imej, enggan tampil ke publik secara lugas penuh percaya diri membawakan ide-idepembaruannya.

 

Muncul kesan, sementara warga Muhammadiyah ber-“darah biru” menikmati ke-“darah-biru’-an kemodernan tajdid, lupa melakukan tajdid dan ijtihad. Mereka cenderung puas dengan apa yang selama ini dicapkan padany, tapi merasa tersaingi saat “pengikut’ kemodernannya lebih piawai melakukan aksi-aksi kritis dan ijtihadi, selain memiliki legalitas kemodernan berikut gelar akademiknya.

 

 Dulu, basis pengetahuan (terutama kitab kuning) nyai-nyai Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dan  nyai-nyai pesantren ( NU belum lahir) relatif setara. Hingga 1980-an ‘Aisyiyah berada pada posisi di atas angin dibanding nyai-nyai Ppesantren. Kini, banyak lulusan luar negeri kalangan dari pesantren, berkemampuan bahasa Arab dan Inggris, disertai pencarian identitas sosial agresif, walau kadang proyek. Sementara ‘Aisyiyah terlalu jaga imej, mriyayeni, penuh aturan dan protokoler.

 

Dalam buku ini ditutup dengan kesimpulan bahwa Kesuksesan Kiai Dahlan dalam melaksanakan pembaharuan dalam kehidupan masyarakat dikarenakan sikap dan perilakunya yang layak untuk diteladani. Masyarakat menilai perkataan dan tindakan Kiai Dahlan selalu selaras sehingga tidak ada alasan untuk menolak gagasan-gagasan-nya. Dukungan dari  masyarakat luas ini menjadikan gagasan-gagasan kyai Dahlan terus berkembang dan menyebar keseluruh pelosok daerah di Nusantara.

 

Gagasan sang pencerah ini harus terus dihupkan dalam diskusi-diskusi warga Muhammadiyah dan para kader Muhammadiyah agar tetap runut dalam pemikiran untuk menyambut gerakan berkemajuan.

TerPopuler

close