Krisis Literasi Matematika di Indonesia: Diagnosa Struktural dan Agenda Reformasi
VNN.co.id - Literasi matematika pelajar Indonesia berada pada titik krisis berkepanjangan. Skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 hanya mencapai 366 poin (peringkat 69/81), jauh di bawah rata-rata OECD 472 poin, dengan 71% siswa tidak mencapai tingkat kompetensi minimum. Hasil serupa tercermin pada Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 yang menunjukkan performa matematika jenjang SMA sederajat sangat rendah.
Di tingkat dasar, Rapor Pendidikan 2022 mengungkap dua dari tiga murid SD belum menguasai numerasi minimal. Penelitian Indah dan Aini (2024) menemukan 63% siswa SMA tergolong “kurang” dalam literasi numerasi berbasis soal cerita, sementara ketimpangan antarjenjang dan wilayah sangat mencolok, hanya 40,2% siswa Paket C dan 44,04% siswa madrasah aliyah mencapai kompetensi minimum. Kondisi stagnan ini telah berlangsung lebih dari satu dekade tanpa lompatan perbaikan signifikan.
Kegagalan Sistemik, Bukan Sekadar Teknis
Pernyataan Mendikdasmen Abdul Mu’ti bahwa rendahnya capaian bukan karena “murid goblok” melainkan metode pengajaran dan buku ajar memang tepat secara retoris, namun tidak cukup mendalam. Analisis multidimensi yang dikemukakan Rakhmat Hidayat (UNJ) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) lebih akurat menempatkan masalah ini sebagai manifestasi kegagalan struktural.
Kurikulum masih didominasi pendekatan prosedural-algoritmik dengan bobot hafalan tinggi, sementara kompetensi pedagogis guru hanya menjelaskan 29,38% variansi hasil belajar (Sukri, 2023).
Tanpa disertai reformasi kurikulum, sistem rekrutmen dan pengembangan profesional guru berkelanjutan, serta pemerataan infrastruktur digital dan ekonomi, inisiatif tersebut berisiko menjadi intervensi kosmetik. Lebih jauh, pendekatan kebijakan selama ini bersifat reaktif dan berorientasi jangka pendek, mengabaikan peringatan berulang dari asesmen nasional maupun internasional sejak 2010.
Pendekatan Komprehensif dan Berbasis Bukti
Pertama, lakukan revisi kurikulum berbasis kompetensi abad 21 yang menggeser paradigma dari procedural fluency menuju mathematical reasoning dan problem solving dalam konteks autentik, dengan proporsi minimal 60% tugas berbasis proyek dan pemodelan matematika.
Kedua, susun program pengembangan profesional guru berskala besar (target 150.000 guru matematika hingga 2028) berbasis lesson study berkelanjutan, didukung sertifikasi bertingkat dan insentif finansial khusus bagi guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Ketiga, bangun platform pembelajaran digital nasional terbuka yang mengintegrasikan konten mikro, simulasi interaktif, dan bank soal berbasis PISA serta TIMSS, dengan fitur akses offline dan dukungan bahasa daerah.
Keempat, institusionalisasikan program literasi numerasi keluarga melalui kolaborasi lintas sektor (Kemendikbudristek, Kemenkes, dan Kemendagri) dengan memanfaatkan jaringan Posyandu, PKK, dan pendidikan masyarakat.
Kelima, reformasi sistem asesmen nasional dengan mengurangi bobot ujian berbasis hafalan hingga maksimal 30% dan meningkatkan proporsi penilaian berbasis portofolio, proyek, serta performa autentik.
Keenam, bentuk Badan Independen Pemantau Literasi Matematika dan Sains yang bertugas melakukan evaluasi tahunan berbasis data, memberikan rekomendasi berbasis bukti, serta memiliki kewenangan sanksi dan penghargaan terhadap provinsi serta satuan pendidikan.
Tanpa agenda reformasi yang komprehensif, terukur, dan berkelanjutan, dan didukung political will lintas rezim, Indonesia akan terus terjebak pada siklus stagnasi literasi matematika. Padahal, dalam ekonomi berbasis pengetahuan, kemampuan matematika bukan sekadar indikator pendidikan, melainkan prasyarat daya saing bangsa di abad 21.***
*** Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Muhamad Romdoni. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*** Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi



