Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Kampus digegerkan dengan penemuan mayat oleh dua mahasiswinya. Bagaimana tidak. Kejadian itu tak pernah terjadi di universitas ternama tersebut. Desas-desus dan kasak-kusuk bertebaran. Bunuh dirilah, putus cintalah. Seakan dunia ini terlalu sempit untuk disangkut-pautkan dengan masalah cinta. Kasus itu pun akhirnya meledak hingga terendus juga aromanya oleh masyarakat luar. Sebab, tak maklum jika ada sirine polisi berdengung-dengung masuk ke wilayah kampus. Hal ini menjadikan nama kampus yang selama ini dianak-emaskan menjadi tercemar. Jajaran dewan rektorat tak habis pikir, bagaimana bisa peristiwa seperti ini terjadi di lingkungan mereka, sama sekali tak terlintas dalam benak.
Garis kuning di sana-sini. Para pemburu warta pun enggan
kalah mengorek informasi sedapatnya dari para petugas yang bertugas di sekitar
TKP maupun saksi mata, termasuk satpam yang terlihat gerogi dikerubung
kamera-kamera media yang tak berhenti mencekoki pertanyaan lalu dijawabnya
dengan tergagap-gagap
sebab baru pertama kali dihadapkan orang banyak. Macam artis baru, batinnya.
Di lain tempat, Santi duduk termenung di atas bangku
panjang kantin. Ia dan Dila memilih menghindar setelah dimintai keterangan oleh
petugas keamanan dengan seragam mirip anak-anak pramuka. Sembari terus
memainkan sedotan di tangannya, ia mengaduk-aduk bongkahan es di dalam gelasnya
dengan tatapan kosong. Pikirannya terlihat melayang-layang hingga tak sengaja
tangan kirinya bergerak menumpahkan air jeruk di depannya.
“Upss ….”
“Santi, kamu ngelamun
terus dari tadi,” tegur Dila sedari tadi memperhatikan sahabatnya yang murung.
Setelah menghabiskan
stok tisu yang dikeluarkannya dari tas untuk mengelap meja yang terkena
tumpahan es, ia tak lantas menjawab teguran Dila, namun tetap diam seribu
bahasa.
Dila pun tak tahan dan
mendesak Santi untuk berbicara seraya memanggil namanya berulang-ulang.
“Hem, yah … apa, Dil?”
jawab Santi tergeragap. Ternyata gadis itu masih saja
bergulat dengan ketermenungannya.
“Lagi mikir apaan,
sih?” tanya Dila lembut. Memberi pengertian dan perhatian penuh kepada
sahabatnya. Ia tahu, meskipun Santi adalah pecinta film horor, namun
kenyataannya dirinyalah yang lebih tahan dengan hal seperti ini. Yah, bagaimana
pun juga, fim itu identik dengan bualan dan rekaan, sedangkan kematian yang
mengenaskan bisa saja ulah manusia, tetapi hal itu sangat mengerikan bagi
mereka yang sensitif dengan hal-hal berbau kematian. Jika kematian tak wajar
itu memang disengaja, lantas siapa yang melakukannya? Astaga, pertanyaan itu
tak hanya berkeliaran pada pikirannya, akan tetapi serta merta meluncur dari
seberang tempat duduknya, sehingga membuat gadis berambut hitam terurai itu
membulatkan
mata. Santi yang ada di sampingnya pun ikut mengangkat pandangan dan
bertabrakan pupilnya dengan iris bening milik pemuda di hadapannya.
Dua gadis itu saling
berpandangan. Saling bertanya, namun tak ada suara. Sedangkan pemuda tersebut
tak duduk dengan pantat, melainkan menaikkan kedua lututnya ke atas bangku
panjang. Mengesankan tingkah anak kecil yang menagih jawaban kepada ibundanya.
“Kenapa ngeliatnya kek
gitu?” seloroh laki-laki itu pada
dua
gadis di depannya yang tak berhenti dari kebengongannya.
“Eh, iya,” katanya
sembari menyeringai, “kenalin, namaku Denis,” lanjutnya seraya mengulurkan
tangan.
Tangan Dila perlahan
terulur dan menyalaminya, begitu juga Santi yang tak berhenti dari keheranan
dengan kedatangan pemuda dengan sikap sok akrabnya.
“Hadeh, baru masuk
kampus, udah ada kejadian kek gini,” ceriwis cowok berkemeja kotak-kotak itu
sembari meletakkan ranselnya di atas meja.
Dari perkataannya,
mereka berdua mulai mengerti bahwa pemuda itu adalah anak baru. Logatnya saja, sudah nampak bahwa lelaki
berhidung bangir itu berasal dari tanah yang sama dengan Dila. Sejurus saja
Dila dan lelaki di hadapannya terlihat asyik dalam pembicaraan santai
layaknya kawan lama kembali berjumpa.
“Ambo auih.” Terdengar pemuda itu
berceletuk, lalu memanggil seorang penjaga kantin untuk memesan segelas es teh.
Sembari menunggu pesanannya, pemuda itu kembali berceloteh dengan Dila. Santi
tahu, kebiasaan orang luar pulau jika ketemu orang yang sebangsa dengannya–maksudnya
datang dari pulau yang sama–mereka akan girang bukan kepalang. Bak ketiban
rembulan, sebab telah dianggap seperti saudara yang telah lama hilang. Tak hanya
di luar daerah yang masih satu negara. Bahkan, hal itu akan terjadi di luar
negeri.
Di samping Dila, Santi tak henti-hentinya memikirkan kejadian yang
ditemuinya tadi pagi. Ia merasa janggal, dan tak lantas percaya begitu saja
jika kematian seseorang di taman itu bukan tanpa sebab. Melainkan memang ada
yang sengaja melakukannya. Di sisi lain, kerisauan Santi terjeda ketika bola
matanya kembali menatap pemuda yang sedang berceriwis dengan sahabatnya. Rautnya
biasa saja. Tak ada pancaran menawan, justru penampilan sangar tercetak jelas
pada bekas luka di pelipisnya. Akan tetapi ada sesuatu yang memaksanya berpikir
keras saat ia kembali menangkap kornea bujang itu dari samping. Pemuda itu
merasa bahwa dirinya sedang diawasi, sehingga wajahnya segera berpaling ke arah
Santi. Santi pun terkesiap dengan tatapan yang dibalas, namun segera dapat
menguasai diri. Segera ia sembunyikan tangannya yang sedikit bergetar ke bawah
meja.
“Lah, ini siapa?” tanyanya seraya mengangkat telunjuknya ke Santi.
“Ini Santi,” jawab Dila disambut dengan anggukan oleh pemuda bernama Denis itu.
# # # #
Sepulang dari perkuliahan,
Santi tak langsung pulang ke rumah. Ia masih malas dan memilih mampir ke kos,
tempat Dila tinggal.
Sesampainya di kamar,
ruangan itu terlihat lengang. Hanya ada dia dan Dila di sana.
“Kamar segede gini muat berapa orang, Dil?” tanya Santi setelah melemparkan
badannya ke atas kasur lantai.
“Aku di sini cuma bertiga,” jawab Dila sembari merapikan buku ke tempatnya,
“Denis itu asyik juga, ya orangnya,” kelakarnya sambil berjalan ke tempat
gantungan pakaian lalu menarik selembar handuk dari sana.
Sementara teman yang diajak bicara hanya berkata, “Hem ....” Sebab sedari
di bangku kantin tadi dirinya tak mudeng dengan percakapan Dila dan Denis yang
menggunakan dialek Minang.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya” pamit Dila. Tanpa menunggu jawaban ia
menenteng kotak sabun bergegas keluar ruangan.
Seraya menatap langit-langit, Santi mengambil gawainya lalu menekan tombol play di sana.
Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell bellow us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today ....
Lagu John Lennon menggema, kebebasan memenuh di langit-langit kamar. Rasanya
Santi ingin terbang mendengarkan lagu legenda yang seakan tak pernah lekang
oleh waktu itu.
Namun, saat sampai pada lirik No
religion too, ia mengingat lirik yang menjadi perbincangan dunia, banyak
yang menyebut-nyebut bahwa lagu jadul tahun tujuh puluhan itu merupakan ajakan kaum
atheis untuk tak memercayai agama dan Tuhan.
Agaknya orang-orang yang berpemikiran dangkal itu tak pernah meneliti
sejauh dan sedetail mungkin. Bahwasannya ketika menafsirkan sesuatu itu, tak
seharusnya kita membaca setengah-setengah dan menelannya mentah-mentah. Tetapi diperlukan
ketelitian lebih untuk memahami makna tersurat maupun tersirat dari awal
kalimat hingga akhirnya.
Seyogyanya, dari judul kita sudah dapat menangkap bahwa pencipta lagu hanya
ingin kita membayangkan di mana tak ada negara, tak ada agama, tak ada harta
benda, yang ada hanya langit sehingga semua orang hidup dalam kedamaian, saling
berkasih-kasihan, dan tak pernah membedakan antar ras, golongan, suku, maupun
pembeda-beda lainnya. Tak ada kerakusan sebab harta benda dan tak ada rasa kebencian
antara umat manusia.
Yah, satu hal yang patut ditanamkan kuat pada hati dan pikiran adalah tidak
semena-mena men-judge tanpa adanya
bukti yang logis.
You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you join us
Santi semakin terbuai dalam not-not lagu ciptaan Yoko dan John, seakan
mengarungi tangga-tangga kedamaian.
And the world will live as one
Lamat-lamat nada gawainya masih nyaring di telinga, namun seketika suara
itu menghilang. Berganti dengan suara berisik di sekelilingnya. Ia terduduk dan
mendapati dirinya tak lagi di sebuah ruangan, akan tetapi di tempat lain. Entah
apa namanya, yang jelas tak ada cahaya. Ia pun bangkit lalu melangkah,
menimbulkan bunyian, di kakinya penuh dengan ranggasan kering. Rasanya, ia
pernah berada di tempat ini. Tetapi tak ingat kapan dirinya pernah ke sini. Pandangannya
berpendar. Angin mengembus ringan menyerbu tengkuk, membuat rambut-rambut halus
di sana bergidik.
Terdengar seseorang memanggilnya, ia membelokkan kepala. Tak ada
siapa-siapa. Lalu, melangkah lagi ke depan. Namanya dipanggil untuk yang kedua
kalinya. Kali ini lebih nyaring. Ia pun berhenti dan membalikkan badan. Masih sama.
Hanya gelap yang ditangkap penglihatannya.
“Siapa?” tanyanya hati-hati sembari menggerakkan kaki mendekati sumber
suara.
“Sa ... nti ... San ... San ... ti ....” Suara-suara itu semakin
melengking, merubungnya hingga seolah-olah gendang telinganya terasa ingin
pecah.
“Arrrggghhh ....” Gadis itu tak tahan lagi, namun tubuhnya seakan dikunci. Tak
kuasa melarikan diri. Ia hanya bisa menyumpal lubang telinganya dengan kedua
belah tangan rapat-rapat dan memejamkan mata sebisanya
Mendadak ia dihujani ribuan benda ringan. Gerakan udara berubah mencekam, menerbangkan
rambutnya yang tak lagi terkuncir epik, dan bau kematian serasa mengitari. Ia memberanikan
diri membuka netra dan melihat apa yang sedang dilempar-lemparkan ke arahnya. Napasnya
mulai menggebu dan wajahnya terasa kaku. Mawar-mawar itu yang kerap mendatangi
bunga tidurnya. Kelopak-kelopak mengerikan itu tak habisnya menghantam seluruh
badan serta kepalanya. Meski tak sakit, namun ketakutan terus berkembang dalam
jiwanya.
Huwaaa .... Sebuah teriakan memekik dari arah yang tak begitu jauh dengannya
berdiri. Pekikan nelangsa itu seperti suara seorang perempuan. Lalu diiringi tangisan
lirih seperti orang kehilangan sesuatu berharga.
Ia memutuskan untuk mencarinya setelah sedikit terkesiap bahwa kakinya
sudah dapat digerakkan, dan kelopak-kelopak mengerikan itu tak lagi terlihat di
sekelilingnya.
“Huhu ... hiks ....” Tangisan itu semakin jelas, ia merasa bahwa dirinya kian
dekat dengan orang itu.
Ternyata tempat di mana ia berjalan, terlalu rimbun dengan sesemakan
belukar. Sehingga bunyi-bunyian ranting kering yang hancur sedikit membikin
berisik. Nampaknya gadis itu sudah tak peduli dengan sikap hati-hati. Sebab ia
terkesima dengan suasana areanya berjalan. Langit sedikit menunjukkan
kecerahannya, pepohonan beringin yang menjulang, kamboja, dan kenanga. Bunganya
berserakan di atas tanah. Selangkah kemudian ia tahu bahwa ia sedang berada di
tanah pemakaman.
Gadis itu mengangkat pandangan ketika matanya menangkap jajaran nisan di antara kelopak-kelopak yang berserakan, dan mendapati seseorang sedang berjongkok di atas pusara memberikan sebuah persembahan. Hah ... Santi tercengang. Mawar hitam lagi?
# # # #
Hujan telah reda beberapa menit yang lalu, namun dinginnya malam tetap mengusik. Apalagi jika perut dalam keadaan kosong begini, “Enaknya nyari yang anget-anget, nih,” celetuk seseorang dari pojok ruangan.
“Hayukk …,” sahut gadis
berpipi gembul yang terus memegangi
perutnya.
Di kamar kos itu, Dila
hanya tinggal bertiga dengan teman-temannya. Mereka juga anak-anak perantauan. Satu
dari Kalimantan, satu lagi dari Jawa. Ia sangat senang berkawan dengan mereka,
sebab adat, tradisi, bahasa sekaligus ilmu baru didapatkan percuma-cuma tanpa mendatangi
tempatnya secara langsung.
Tanpa ba-bi-bu,
ketiganya telah bersiap di teras untuk menyusuri kedinginan malam. Dibilang sunyi,
tidak. Sebab, gemericik air dari loteng-loteng rumah bertempa dengan apapun di
bawahnya. Jalan, dedaunan, air menggenang, menambah pencitraan di malam yang
syahdu.
Jam masih menunjukkan
pukul sembilan, artinya pedagang-pedagang asongan di perempatan sana belum pada
pulang. Ketiga gadis itu langsung menembus
kedinginan demi menuruti lambung yang lama berteriak meminta jatah.
Akhirnya, setelah beberapa bungkus plastik yang penuh kepulan asap dan
aroma sedap telah aman berlindung dalam genggaman, segera langkah mereka berbalik
halauan ke tempat kos. Gerobak-gerobak dan kedai yang terlampau laris pun telah
merapikan dagangannya untuk berlekas-lekas pulang ke rumah. Membawa segenggam
gembira akan hasil jerih payahnya seharian. Sementara masih ada beberapa cuil
harapan pada rona-rona penjual yang senantiasa menunggu, barangkali ada di antara
pejalan kaki atau kendaraan beroda berhenti di depan lapaknya dan menghabiskan potongan-potongan
yang menjadi tumpuan harapnya. Ada juga mata-mata sayu yang berharap ada
setengah wajah menengok barang dagangan mereka yang sejak sore bahkan pagi sama
sekali belum terjamah. Rasanya benar-benar sulit mengumpulkan pundi-pundi
rupiah.
Ternyata tak semudah itu yang namanya bekerja keras. Terkadang keringat
yang diperas tak sebanding dengan apa yang didapatkan dan diinginkan. Itu pun
masih saja ada orang yang meremehkan keberadaan orang-orang seperti mereka di
dunia ini. Kebanyakan mereka hanya dimanfaatkan tanpa penghargaan semestinya. Dikuras
tenaganya tanpa dihargai usahanya. Bahkan, oleh anak mereka sendiri. Maunya ini
itu, jika tak dituruti mengancam bunuh diri, mogok makan, bisa-bisa kabur dari
rumah. Dunia memang sudah tak wajar. Ibarat peribahasa Jawa ‘anak polah bapak
kepradhah’, orang tua kalangkabut akibat perbuatan anaknya.
Kalbu Dila sedikit tergugah, ia ingat perjuangan ibunya menghidupi dirinya dan
adik-adiknya. Sendirian. Walaupun satu dari saudaranya ternyata mendahului usia mereka, namun ibunya tak patah semangat menghidupi buah hatinya hingga akhirnya
perempuan perkasa itu menyusul adik bungsunya menemui kedamaian abadi di sisi
Tuhan. Mata gadis itu sedikit berair, ada sesuatu yang membuat tenggorokannya
panas kala memoar kembali terlintas di ingatannya.
“Yaudah, yuk Dil pulang.” Seseorang menggaet pergelangan tangannya, lalu
dengan anggukan pelan ia mengiyakan ajakan temannya setelah punggung tangan langsat
itu mengusap setetes air di pipinya.
Tangan-tangan ketiganya terlihat mengeratkan balutan hangat di tubuh
masing-masing. Agaknya hawa memang sedang tak bersahabat. Beberapa helaian
rambut pun berterbangan seiring tiupan angin yang mendesau. Brrr .... dingin merangsum pada tulang-tulang
kaki, leher serta wajah, hingga mereka memutuskan untuk berlari-lari kecil agar
cepat sampai tujuan.
Jalan itu antara utara dan selatan tak terlihat ujungnya. Setelah perempatan
di ujung sana, lalu ke selatan beberapa langkah, akan ada satu belokan mencolok,
yakni jalan menuju kampus yang terhubung dengan taman belakang. Bukan ke
kelokan itu Dila dan kawan-kawan akan berjalan, namun justru lurus. Itu artinya,
mereka bertiga harus melewati jalan tersebut.
Dila sengaja berpelan-pelan saat berjalan, sebab baginya jalan cepat akan
membuat dirinya semakin merasakan kedinginan luar biasa akibat angin musim
hujan. Nah, salah satu cara yang berbeda dari yang lainnya justru berjalan lebih
pelan dari biasanya. Hemm, aneh memang. Tetapi itulah nyatanya.
Sementara kedua temannya telah melangkah lebih dahulu, dirinya masih
tertinggal lumayan jauh. “Hiks ....” Sebuah suara menyurutkan langkahnya. “Hiks
.....” Lagi. Detak jantungnya perlahan naik turun, rasa-rasanya sangat dekat.
“Maaf, ya, Vi ....” Kini suara seorang laki-laki yang tertangkap pendengarannya. Ia pun menengokkan kepalanya. Bingo. Netranya membulat, ternyata dua orang yang selama ini ia kepoin benar-benar berada di depan matanya.
Bersambung ....