Sirah Maqasidana Syekh Siti Jenar (Syekh Lemahbang-Syekh Sitibrit-Syekh Abdul Jalil) -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Sirah Maqasidana Syekh Siti Jenar (Syekh Lemahbang-Syekh Sitibrit-Syekh Abdul Jalil)

, 1/13/2021 09:14:00 AM
Penulis berziarah ke makam Syekh Siti Jenar.

Anggota Walisongo Waliyyul Ilmi*

Oleh: Sofyan Mohammad**

....................................................................

"Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'-nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. 

Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga". ***

....................................................................

Syekh Siti Jenar adalah sosok legendaris dalam khazanah sejarah penyebaran Agama Islam di tanah Jawa pada era awal Kerajaan Demak, demikian namanya sangatlah familiar bagi masyarakat Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, kepopulerannya tidak kalah dengan para anggota Walisongo lainnya karena menyangkut kekeramatanya dalam jagad tasawuf, yaitu tentang kajian mistik Islam dan singkretisme Kejawen, dengan ajaran yang terkenal dengan "manunggaling kawula gusti" yang masih cukup fenomenal hingga saat ini, karenanya sosok ini dianggap memiliki rekam jejak yang kontroversi baik menyangkut asal-usul maupun akhir kehidupannya di dunia.

Terkait ihwal asal-usulnya maka ada beragam versi yang menyertainya, dari berbagai catatan sejarawan, maka beliau diperkirakan lahir sekitar tahun 829 H/1348 Caka/1426 H di lingkungan Pakuwuan, Caruban, pusat Kota Caruban yang sekarang dikenal dengan Astana Japura, sebelah tenggara Kota Cirebon. 

Kemudian menyangkut akhir kehidupannya, maka seperti selubung misteri yang menggugah nalar untuk menciptakan kontroversi.

Menurut catatan dalam Serat Syeikh Siti Jenar yang ditulis Ki Sosrowidjojo menyebutkan, jika Syekh Siti Jenar meninggal lantaran dihukum mati oleh Sultan Demak dengan persetujuan Dewan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Bonang, dikisahkan yang bertindak sebagai algojo hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, eksekusi tersebut dilaksanakan di Alun-alun Kesultanan Demak.

Dalam catatan yang terdapat di Babad Tanah Jawa yang disadur oleh S Santoso, disebutkan jika Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri dengan algojo adalah Sunan Gunung Jati, eksekusi hukuman ini dikisahkan atas usulan Sunan Kalijaga. Sementara kisah lain diriwayatkan dalam Babad Demak, Syekh Siti Jenar meninggal karena vonis mati yang dijatuhkan Sunan Giri dengan cara keris ditusukkan ke badannya hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning.

Dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Selendraningrat, vonis hukuman Syekh Siti Jenar dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati dan algojonya adalah Sunan Kudus yang dalam catatan ini juga mengisahkan tentang pelaksanaan eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan Sunan Kudus.


Kemudian menurut buku yang ditulis Prof. Munir Mulkan yang mereferensi pada Serat Syekh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, diceritakan jika Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati yang diawali para anggota Wali Songo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk mengeksekusi, namun hukuman tak jadi dilakukan karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri dengan cara memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa melalui dihukum oleh otoritas Demak melalui Para Sunan anggota Walisongo.

Riwayat lain yang terdapat dalam wawacan  Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39 yang ditulis ulang oleh Eman Suryaatmana dan T.D. Sudjana, diceritakan ada dua orang yang sama-sama menaruh dendam pada Syekh Siti Jenar,  yang pertama bernama Hasan Ali atau Pangeran Anggaraksa yang merupakan anak Resi Bungsi yang diusir dari keraton karena pemberontakannya pada Cirebon, kemudian dia melampiaskan dendam pada Syekh Siti Jenar karena berhasil menjadi guru suci utama di Giri Amparan Jati.

Kemudian yang kedua ada nama San Ali Anshar al-Isfahani yang dikisahkan berasal dari Persia, teman seperguruan Syekh Siti Jenar yang diceritakan juga menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar lantaran kalah dalam ilmu dan kerohanian, diceritakan kedua orang ini lalu berkeliling Jawa sambil mengaku-aku sebagai murid Syekh Siti Jenar dan mereka memasukkan ajaran mistik secara vulgar hingga lama-kelamaan Hasan Ali mengaku-aku sebagai Syekh Lemah Abang, sementara San Ali Anshar mengaku-aku pula sebagai Syekh Siti Jenar, yang menurut versi ini maka justru mereka berdualah yang sebenarnya dieksekusi oleh para Wali Songo karena sudah melancarkan fitnah keji terhadap Syekh Siti Jenar, sementara Syekh Lemahbang yang asli meninggal secara wajar sebagaimana mestinya.

Karena telah muncul banyak versi tentang cara kematiannya, maka demikian banyak versi pula tentang keberadaan makamnya yang terlacak dalam berbagai kisah berserakan, mulai dari hikayat cerita rakyat hingga spekulasi yang dituangkan dalam ragam catatan misalnya dalam buku berjudul "Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo" karya Muhammad Sholikhin (Erlangga pada 2001) menjelaskan bahwa kematian Syekh Siti Jenar cukup wajar karena sesungguhnya yang dihukum mati oleh para wali adalah kedua murid Syekh Siti Jenar yang bernama San Ali Anshar dan Hasan Ali. Dalam beberapa babad dan hikayat Jawa, dua orang ini mengaku sebagai Syaikh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar, padahal keduanya memiliki konflik dan persoalan yang berbeda-beda hingga kedua orang inilah yang dihukum mati oleh para wali.

Sementara, Syekh Siti Jenar meninggal dunia secara wajar dan disemayamkan di Astana Kemlaten yang terletak di sebuah dukuh terpencil yang terletak di sebelah selatan dukuh Lemah Abang di Cirebon, namun di sisi lain terdapat pula makam yang sederhana karena berupa satu cungkup kuburan berukuran 180 x 90 cm yang dipayungi kelambu putih yang terletak di Desa Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Cirebon yang diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar demikian masih di wilayah Cirebon maka disebutkan tentang adanya makam Syekh Siti Jenar di area petilasan Sunan Kalijaga terletak di Barat Sungai Sipadu, di Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Daerah ini juga dikenal sebagai Taman Kera, karena ada ratusan kera yang hidup di sini.

Versi lain menyebutkan, jika makam Syekh Siti Jenar atau Raden Abdul Jalil terletak di kompleks Makam Kalinyamat di sekitar Mesjid Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara yang merupakan komplek makam Ratu Kalinyamat, Sultan Hadlirin dan beberapa makam kerabat Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat sendiri merupakan seorang ratu yang bernama asli Retna Kencana yang merupakan seorang puteri Sultan Trenggono Raja Demak yang memerintah pada tahun 1521-1546.

Di Jepara, ada pula keyakinan masyarakat  jika makam Syekh Siti Jenar berada di desa Lemah Abang, Jepara sementara keyakinan lain menyebutkan bahwa makamnya berada di Desa Balong Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Kemudian, keberadaan sebuah makam yang terletak disebuah bukit di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro, Pekalongan maupun keberadaan sebuah makam yang berada di Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding kota Tuban Jawa Timur juga oleh masyarakat setempat diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar karena di sana juga berdiri masjid Syekh Siti Jenar, kemudian nama ini juga terpampang di gapura masuk kampung dan gapura petilasan

Bahwa, dalam versi lain dikisahkan Syekh Siti Jenar wafat secara moksa, di mana jasadnya menghilang terserap menjadi ruh dan terbang ke surga.

Terlepas dari segala kontroversi tentang asal-usul, keberadaan makam hingga polemik tentang cara berakhir kehidupannya di dunia, namun yang pasti sosok Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang tetap hidup di sebagian besar nurani masyarakat Jawa karena faktanya semua makam makam yang tersebar di beberapa daerah tersebut tetap ramai diziarohi oleh berbagai lapisan masyarakat.

Studi ilmiah dan berbagai kajian tentang ajaranya terus berlangsung hingga kini banyak intelektual muslim, akedemisi, dan peneliti melakukan kajian tentang sosok ini, demikian dalam dimensi ruang senyap maka ada beberapa dari para Kyai dan para santri maupun kelompok spriritualis masih mengaji atau menjalankan Amaliah dari pada ajaran Syekh Siti Jenar yang dianggap memiliki kedalaman ruhani sekaligus seorang Anggota Wali Songo yang memiliki gelar  "Waliyyul Ilmi" atau Waliyullah yang alim serta dalam keilmuannya.

....................................................................

**********************************

....................................................................

Bendot adalah kambing jantan yang memiliki syahwat birahi luar biasa, kambing betina yang berjejer di kandang puluhan ekor merasa tidak sanggup lagi melayani birahi Si Bendot. Sudah beberapa hari ini Bendot sering ngamuk menyeruduk apa saja terlebih setelah dipisahkan dengan puluhan ekor betina yang kesemuanya sudah bunting akibat ulahnya,  hal ini dilakukan agar janin para betina itu aman dari serudukan Si Bendot.

Bendot beberapa hari ini benar-benar tidak bisa menahan syahwatnya hingga dia lampiaskan dengan cara ngamuk menyeruduk apa saja termasuk kandang yang menjadi tempat tinggalnya pun sudah roboh akibat keganasan amukan Bendot.

Mbah Pelok selaku Juragan para wedus tersebut mulai merasa kewalahan mengatasi amukan liar Si Bendot, hingga akhirnya Bendot di-cancang (diikat) di tiang bambu teras langgar, namun celakanya amukan dan serudukan Bendot justru membuat langgar mungil terbuat dari bambu berdinding sesek (anyaman bambu) tersebut nyaris roboh, melihat situasi tersebut maka Mbah Pelok sudah mulai pasrah dan membiarkan langgar tersebut ambruk diamuk dan diseruduk oleh Si Bendot hingga Si Bendot kelelahan sendiri.

Saya yang sehari-hari tukang ngarit untuk memberi pakan para ternak itu juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali ikut godhoki (memegangi) Bendot ketika mau di-cancang (diikat) oleh Mbah Pelok selaku Juragan wedus.

Beberapa hari ini saya sengaja mencari pakan rumput yang istimewa, mulai daun odot, rumput pakchong hingga daun kaliandra dan indigofera yang banyak vitamin dan nutrisi tersebut saya alumkan dan saya cacah lembut sebelum saya hidangkan demikian Si Bendot juga saya beri tambahan hidangan istimewa karena juga saya berikan minuman jamu ternak yang saya beli di toko pertanian beberapa hari sebelumnya.

Malam itu seperti biasa, pada tengah malam saya terbangun untuk melihat-lihat kondisi para wedus dengan tujuan memastikan para cempe tidak terjepit atau diinjak injak oleh wedus yang lebih besar. Pada saat di dalam kandang kambing diantara rerumputan sisa pakan dan diantara intil dan uyoh wedus (kotoran dan urin kambing) yang memiliki bau khas, namun akrab sekali di hidungku, maka sayup-sayup diantara celah cahaya bulan malam itu saya melihat dan mendengar percakapan dalam kwaruh ilmu antara Mbah Pelok dan Si Bendot.

Saat malam terbelah dengan cahaya bulan yang terang terlihat Mbah Pelok sedang berdiri di hadapan Si Bendot yang terikat pada pohon mahoni di halaman langgar mungil tersebut, selanjutnya dalam temaram sayup saya mendengar percakapan tiada sedih dalam selaksa warna-warni.

Bendot: Kudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama, Basar dan Kalam, ini adalah bagian dari sifat 20, kalau tidak ada hayat tidak berfungsi yang enam sifat itu, lalu siapakah yang menyempurnakan-Nya dari semua itu???

Mbah Pelok: Jangan dihafal lagi karena sudah terpakai dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan yang menyempurnakan dari semuanya itu ialah Aku???

Bendot: Kesudahan dari kalimat AKU itu apa???

Mbah Pelok: Kesudahan Aku itu ialah Engkau.

Bendot : Alhamdulillah, kemana arah roh saat dijemput malaikat??? Dan kenapa pula di alam dunia ini dijadikan tempat tersimpannya mayat?

Mbah Pelok: Ruh tidak kemana-mana dia senantiasa ada tergantung dalam celana, malaikat tidak mampu menjemput ruh sebab tidak ada urusan malaikat di situ, kata Tuhan ruh itu urusanku, makanya di sana juga tidak ada tempat untuk penyimpanan mayat yang ada tempat menyimpanan buah palir ....

Bendot: Lalu, bagaimana dengan malaikat maut yang tugasnya mencabut nyawa?

Mbah Pelok: Bagaimana bisa malaikat maut mencabut ruh sedangkan ruh itu haq Aku atau punyaku, kata Allah ....

Bendot: Jika ada orang meninggal dunia biasanya ada yang berkata begini "Telah berpulang ke rahmatullah" maksudnya apa???

Mbah Pelok: Apakah sekarang ini kita tidak berada di Rahmatullah???Jika bukan karena Rahmatullah apalah artinya diri ini?

Malam masih beringsut dengan gemuruh angin, daun-daun berguguran bersamaan itu muncul suara yang keluar bukan dari mulut Mbah Pelok maupun Si Bendot, namun telingaku mendengar dengan pasti suara yang berbunyi ...

"Jika Aku tidak kuasa atas gerak tubuhmu mustahil tubuhmu itu bergerak, Aku Maha Kuasa atas setiap gerak rasa dan seluruh yang ada padamu, kuasa atas baik burukmu, hidup dan matimu, lalu yang manakah kuasamu atas dirimu???"

Suasana begitu hening, para wedus terdiam tanpa sedih hingga aku pun lupa cara bernapas karena bunyi dengusan napas pun serasa aku tidak mendengarnya lagi kecuali kembali terdengar percakapan itu ...

Bendot: Tidak ada kuasa atas diriku.

Mbah Pelok: Setelah dihidupkan, maka Engkau itu ialah perwujudan dari Sang Maha Pencipta, dan Sifat siapa yang engkau pakai tiap hari itu, Kudrat bekuasa, Iradat bekehendak, Ilmu mengetahui, Hayat hidup, Sam'un mendengar, Bashar melihat, Kalam berkata-kata itu???

Bendot: Semua punya Allah.

Mbah Pelok: Kalau semuanya punya Allah maka jadilah anak yang baik, makan bila lapar, minum bila haus, tidur bila ngantuk, ada uang shopping, dan jangan lupa jika uangnya lebih, BINI harus tambah lagi, tambah lagi dan lagi juga tidak apa-apa ... janji minum obat kuat***

Mataku terbelak ketika tiba-tiba aku terbangun  di kandang wedus, tidur bersama wedus-wedus itu dengan aroma yang sedemikian akrab bagi lubang hidungku.

Ketika Sang surya mulai menampakkan wajahnya, maka aku mulai melaksanakan kewijabanku mengayunkan arit membabat rerumputan.

Salam Ngarit

....................................................................

Wallahua'lam Bissawab

 "Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sebenarnya"

.....................................................................

Tulisan ini adalah ikhtiar menjaring debu yang bertebaran di udara yang mungkin jauh dari keshahihan, karena hanya DIA yang mengetahui segalanya.

Apabila ada kesamaan nama, setting ruang dan waktu serta tempat dalam narasi penulisan in,i maka hanya kebetulan karena kehendak-Nya, penulis hanya mengilustrasikan dengan mencurahkan segala kebodohannya tidak memiliki maksud apa-apa kecuali hanya DIA.

...................................................................

Semoga Bermanfaat

Cirebon, 10/01/21

*Diramu dengan berbagai bumbu bacaan buku, cerita maupun meguru pada para maqomnya

.....................................................................

**Penulis adalah tukang ngarit pakan kambing sehari-hari tinggal di desa.

***Ngabei Ranggasutrasna, dkk., Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).

****Posting Kyai Ora Aji dalam akun Fb Agus Ubaidillah.

Editor: Mega

TerPopuler

close