Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Angin berdesau, menerbangkan anak rambut dua gadis yang lenggang berjalan di atas trotoar, sepi pejalan kaki. Ya, hari semakin siang dan matahari sudah terlalu menyengat, membakar ubun-ubun siapapun yang berjalan di bawahnya. Beruntung angin sejuk menerpa, mengusir hawa yang tak mau berkawan dengan kedamaian. Dilihat dari cara berpakaian hingga barang bawaannya, dua perempuan muda itu adalah seorang terpelajar. Dalam artian orang yang baru pulang dari tempatnya belajar.
Sebuah tas selempang dengan beberapa buah buku diapit tangan kanannya. Berjalan tegap bak serdadu berbaris menenteng laras menyerbu musuhnya. Ah, tidak. Hanya nampaknya saja. Sedetik kemudian, akhirnya dua badan itu meloyo merayapi trotoar yang semakin membakar sepatu lalu menembus kulit ari telapak kaki-kaki dara itu. Mereka terlihat bercakap-cakap, serius agaknya sebab perempuan berisi dengan rambut terurai itu memperlihatkan wajah bersungguh-sungguh dalam menyampaikan sesuatu pada perempuan manis di sebelahnya.
“Eh, San, denger-denger
Si Viola lagi deket sama Pak Dimas,” ujar gadis berpipi gembul itu.
“Pak Dimas?” tanggap
perempuan yang disebut Santi itu sembari berpikir.
“Iya, Pak Dimas yang TU
baru itu, loh”
“Oh, itu ...” Santi manggut-manggut namun dengan ekspresi yang
cenderung datar, “emang kenapa?” tanya Santi seraya melirik ke arah perempuan
di sampingnya.
“Ya, enggak, sih
... heran aja gitu, cewek seperti Viola ternyata levelnya rendah juga,”
cibirnya.
“Hush, ga boleh
gitu. Kamu lupa, semua orang itu tak bisa dilihat dari covernya aja. Siapa
tahu, kan Viola yang penampilannya judes itu ternyata berhati seputih kapas,”
timpal Santi.
Perempuan itu pun terdiam sembari mengangkat kedua bahunya. Bete. Sebab pemikirannya tak pernah searah dengan sahabatnya itu. Daripada memperpanjang lebih baik diam, pikirnya. Mereka pun diam.
Sedetik, dua detik, agaknya gerah jika dalam perjalanan tanpa bersuara. Gadis itu
pun angkat suara untuk memecah suasana.
“San, nanti malam ke
alun-alun, yuk,” katanya kepada gadis di sampingnya seraya menaik-turunkan
alis.
“Emm, ngapain?” tanya
Santi sibuk mengamati lahan kosong yang mereka berdua lewati.
“Yaelah, malam
mingguan, lah. Jomblowers kaya kita ini,” ucapnya tertahan sembari menarik
kedua ujung bibir agak lebar, “ya gini ... cari hiburan sendiri, hahaha.”
“Huuu dasar, ngenes
banget kamu jadi jomblo,” kekeh Santi seraya menyikut pinggang gadis bermuka
bulat itu.
Mereka pun tertawa,
merangkul satu sama lain tanpa mengindahkan sebuah suara yang
memanggil-manggil.
“Dek!!!”
“Eh iya, Bang,” sahut
Santi. Ternyata seorang kondektur berteriak dari dalam bus yang baru saja
berhenti. Kelakuan orang-orang memang tak pernah berubah. Ia baru sadar bahwa
ini bukanlah halte, tempat pemberhentian bus semestinya. Tetapi bus itu nekat
memangkringkan badannya di tepi trotoar yang sepi lalu lalang orang demi berseru
agar ada yang berminat menumpanginya.
“Ketawa mulu, Dek, ampek
kagak denger orang lagi tereak,” cetus Kondektur yang dari logatnya bisa
diketahui kalau ia orang Betawi.
Bersamaan dengan
kondektur yang ngomel-ngomel, seorang pemuda dengan jaket hitamnya berjalan
terburu-buru hingga menabrak Santi yang sedang fokus mendengar ceramah dari
kang kondektur itu.
“Brakkk ....” Buku-buku
di tangannya berguguran layaknya bunga sakura di musim gugur.
“Awww ....” Santi
merasa kesakitan saat bahunya tersenggol hingga kakinya sedikit melintir hendak
terjatuh.
“Maaf,” kata orang itu
sembari berlalu. Dingin.
“Whats?” Dila
kembali nyerocos, “gitu doang? Woyy, lu punya mata gak, sih? Punya adab, sopan
santun dikit, kek. Ngelonyor aja.”
“Tau, tuh. Noleh aja
enggak,” cecar Santi menimpali Dila yang masih menopang tubuhnya.
Sementara pemuda itu
... aish, berhenti saja tidak.
“Dek, jadi naek kagak?”
tanya kondektur yang ternyata setia menunggui calon penumpang harapannya.
“Eh ... enggak, Bang,”
sahut Dila.
“Kamu ga apa-apa, kan San?” Dila membantu sahabatnya menegak dengan wajah khawatirnya. Santi pun mau tidak mau mengangguk meski agak berdesis bibirnya menahan kaki yang sedikit terkilir.
# # # #
“Glukguk ... glukguk ....” Air di galon itu turun setelah sebuah tangan halus menekan pancuran di bawahnya berniat mengambil air untuk diminum, menyisakan suara tekanan pada benda cair, membelah keheningan malam. Malam ini, gadis itu memilih berdiam di rumah, sebab kondisi yang tidak memungkinkan untuk keluar. Padahal, tadi siang ia sempat membuat janji dengan sahabatnya akan pergi menghibur diri ke pasar malam. Mumpung malam minggu. Tetapi agaknya takdir berkata lain.
Ia lalu berjalan menuju kamar dengan tertatih sebab kakinya masih sakit akibat kejadian di trotoar sepulang dari kampus. Karena langkah yang tidak mulus, akhirnya air di gelas yang dibawanya itu tercecer ke atas lantai. Ah, dibiarkannya saja air itu dengan berpikir ibunya nanti yang membersihkan. Sebab ia yakin bahwa ibunya pasti mengerti keadaan anaknya yang sedang ditimpa kemalangan. Sebentar lagi ibu pasti pulang, batinnya. Karena tadi berpamitan untuk membeli obat nyamuk Kingkong ke warung.
Ia tak habis pikir, ibunya sangat suka menyulut obat nyamuk, padahal nyamuk itu menggigit kok malah dikasih obat, ya jelas tambah sehat badannya. Ia pun terkekeh sendiri dengan pemikirannya. Lagian, pikirnya, asap dari obat bakar itu mengepul kuat mencekat tenggorokan sehingga membuat batuk-batuk dan kesulitan untuk bernapas.
“Ibu, kenapa sih pakek obat nyamuk segala, kan gak enak dibaunya,” katanya kala itu, saat dirinya masih seumuran bocah SD. Ia teringat, dengan polos dirinya memprotes apa yang telah menjadi kemauan ibunya. Meski berkali-kali pula ia protes, berkali-kali pula ibunya menjelaskan alasannya mengapa tetap menggunakan obat bakar dengan kemasan bergambar seekor induk kingkong yang asyik menyuapkan pisang pada anaknya itu. Statis, berkali-kali pulalah dirinya tetap tak dapat memahami penjelasan orang tuanya sebab pemikiran yang masih terlalu bocah. Gadis berkuncir kuda itu pun lagi-lagi tersenyum kecil mengingat memori yang baru saja berkelebat di hadapannya.
Segera saja ia melanjutkan langkah ke kamar dengan gelas yang masih saja memuncratkan air dari dalamnya. Ia akhirnya sampai pada sebuah meja yang satu sisinya menempel pada tembok. Dengan pelan menarik sebuah kursi kayu dari kolongnya dan merebahkan seluruh beban badan ke atas kursi kayu itu. Tangannya pun ia tumpukan pada pinggiran meja seraya mengangkat gelas yang tadi dibawanya untuk diteguk, membasahi kerongkongan. Sejuk. Lantas menaruhnya kembali di ujung agak jauh guna memberi ruang untuknya melakukan sebuah aktivitas di atas meja.
Diambilnya sebuah buku hitam, membukanya pelan lalu menuliskan serentetan tanggal dan tahun dengan pena yang baru ia pungut dari dalam laci.
25 Mei 2019,
Jalan Vteran No. 7,
lahan kosong
Seketika adegan tadi
siang kembali berputar. Menampakkan seorang pemuda dengan jaket hitamnya.
“Brakkk ....”
“Awww ....”
“Maaf.”
“Whats? ....”
Saat Dila nyemprot geram, Santi sempat melihat gelang channel yang menggantung di tangan pemuda itu. Namun tak utuh, benda itu nampak seperti dua macam barang yang terpisah dan akan tergabung jika disatukan dan dikunci. Ia tampak penasaran, sebab rasa-rasanya dirinya pernah melihat bentuk sedemikian rupa, tapi di mana? Ia tak ingat.
Lama berpikir, ia dikagetkan dengan pintu yang berderit. Rupanya ibu sudah kembali, pikirnya. Beberapa detik kemudian, kepala seorang wanita paruh baya tampak menonjol di ambang pintu. Melihat anaknya yang tekun mengamati buku tanpa melakukan apa-apa, ia pun menegur, "Belum tidur, Nduk?"
Gadis itu kembali tergeragap,
rupanya ia ngelamun lagi.
"Eh oh, belum, Bu,"
jawabnya sembari nyengir kuda.
"Agi-agi nang dirampungke,
mundak bubuk. Wis dalu, Nduk! (Cepetan diselesaikan, terus tidur. Sudah malam,
Nduk!)," katanya lagi.
"Injih, Buk (Iya, Bu),"
seru Santi.
Ibunya memang keturunan Jawa tulen, ia
sendiri pun pernah tinggal dan menetap di Kediri, sehingga sedikit banyak ia
belajar bahasa Jawa dari ibunya. Sedang ayahnya, telah lama meninggalkan mereka
sejak dua puluh tahun yang lalu. Ia pun tak pernah tahu bagaimana rupa dan
suara ayahnya, sekali pun hanya mengetahui wajah pria itu dari selembar foto
yang mulai ditelan masa.
Malam pun melindap, semakin hening. Hingga yang terdengar hanya suara-suara melata malam di luar rumah.
# # # #
Masih pagi benar, kampus masih benar-benar sepi. Viola sengaja berpagi-pagi sebab ada tugas yang harus dikerjakannya, dan untuk menyelesaikannya, perpuslah yang ia tuju. Ruangan itu berada di lantai empat, sehingga untuk mencapainya ia harus rela menanjakkan kaki-kaki kurusnya ke tangga-tangga kampus yamg melelahkan itu.
Ia pun sampai di depan pintu perpus. Dengan loyo dan napas tersengal, tangannya mendorong keras pintu setengah bagian di depannya. Lalu masuk dan melemparkan tasnya ke atas meja.
“Huft”
Ia pun meneruskan tujuan awalnya,
berjalan menyusuri rak-rak tinggi. Matanya tak henti melototi satu per satu
judul yang tertera pada punggung-punggung buku yang tertata rapi pada para-para
besi itu. Hingga ia berhenti di ujung lorong rak dan mendapati seseorang tengah
sibuk dengan tumpukan-tumpukan kertas yang berjibun di meja belakang
perpustakaan.
“Pak Dimas,” serunya riang kepada
lelaki yang dengan teliti memilah-milah lembaran-lembaran di depannya.
“Vi ...,” sahutnya dengan raut
cemerlang. Lelaki itu memang sumeh (murah senyum) sehingga aura
ketampanannya semakin bersinar.
“Iya, Pak. Lagi ngapain?” tanyanya
ramah seraya menyunggingkan senyum.
“Ini, berkas-berkas anak semester
akhir tahun lalu, mau saya pilah untuk didokumentasikan,” jawab lelaki yang
dipanggilnya Dimas itu dengan tidak menghentikan kerja tangan-tangannya pada daluang-daluang
putih di atas meja.
“Oh ...,” kata Viola menganggukkan
kepala, “semangat ya, Pak,” ujarnya kemudian seraya mengepalkan tangan.
“Hehe, iya makasih.”
“Duluan, Pak.”
“Eh, iya-iya silakan,” kata Dimas sembari tersenyum.
Viola pun meninggalkan Dimas yang masih asyik dengan pekerjaan memilahnya, dan melanjutkan langkahnya melewati lelaki yang terpatri di hadapan bidang kayu datar itu. Namun tanpa ia duga, gadis berambut pirang itu terpeleset entah kenapa, seketika ia berteriak karena takut jatuh. Beruntung tangan kekar milik Dimas tangkas menangkap tubuh Viola, sehingga ia gagal terjatuh. Waktu seakan berjalan mundur, dan dunia ia rasakan berputar pelan. Bahkan, sangat pelan. Hingga napasnya tak beraturan. Langit-langit perpustakaan menghujani wewangian dari surga. Persis aroma citrus pada parfum yang berembus dari tubuh lelaki yang kini erat memeluknya.
Christian Dior Eau Sauvage.
Iya, bauan segar nan elegan itu diciptakan oleh Francois Demachi pada 1966. Tutur pemuda yang membuatnya seolah mati rasa. Ia pun tersentak saat tersadar, ternyata mereka benar-benar sangat dekat. Sejurus ia mendorong tubuh Dimas untuk menjauh. Mereka berdua terlihat saling salah tingkah, meski sesekali mencuri pandang di tengah wajah yang memerah. Sembari menyembunyikan senyum malu-malu satu sama lain.
Tanpa mereka tahu, ada sepasang mata yang memergoki adegan itu dari balik rak-rak yang menjulang di sana.