Selain itu, bagi PKL juga disiapkan tempat yang dioperasikan mulai pagi sampai tengah malam. Namun, hal ini malah dimanfaatkan beberapa pihak untuk mengambil keuntungan, yaitu memungut uang sebagai pajak agar tetap bisa berjualan di sana.
Praktik ini dikeluhkan para pedagang sebab pungutan yang dilakukan terlalu besar nominalnya dan tidak sebanding dengan fasilitas yang ada.
Menurut pengakuan salah seorang pedagang nasi uduk mengatakan bahwa pemungut diduga adalah anggota Karang taruna dan diberi bukti kwitansi berstempel organisasi setelah membayar.
“Setiap bulan kami diminta setor Rp 600 ribu ke anggota organisasi Karang taruna Desa Jonggol, kalau dikalikan 50 lebih PKL sudah berapa puluh juta keuntungan yang didapat oleh mereka, tetapi kami berdagang tetap rugi, karena minimnya fasilitas yang disediakan, ” terangnya.
Namun, ketua Karang taruna Desa Jonggol membantah bahwa pungutan tersebut bukan dilakukan oleh anggotanya, melainkan Bumdes Jonggol.
Ketika ditanyai pasal apakah kepala desa mengetahui hal ini ia berkata,
“Bumdes dan semua kegiatan adalah berdasarkan Perdes, kepala desa sebagai pembina Bumdes dan BPD sebagai pengawasnya.”
Red : Mega