Bawa Tas Terlalu Berat Bisa Picu Nyeri Punggung, Tapi Bukan Penyebab Skoliosis

Jakarta, VNN.co.id – Kebiasaan membawa tas besar berisi banyak barang sering kali dianggap praktis karena membuat kita tak perlu khawatir ada perlengkapan yang tertinggal. Namun, tanpa disadari, beban tas yang terlalu berat bisa memicu nyeri di pundak dan punggung.
Kekhawatiran lain yang kerap muncul adalah anggapan bahwa membawa tas berat bisa menyebabkan skoliosis, yaitu kelainan berupa lengkungan tulang belakang yang tidak normal. Namun, menurut dokter ortopedi, anggapan tersebut tidak benar.
“Kalau pakai tas berat di satu sisi apakah bikin skoliosis? Jawabannya enggak,” ujar dr. Andra Hendriarto, Sp.OT (K) dalam acara edukasi media yang digelar Rumah Sakit Pondok Indah di Jakarta, Rabu (17/9/2025), seperti dikutip dari Kompas.com.
“Pakai tas itu (beratnya) rekomendasinya cuma 10 persen dari berat badan. Kalau terlalu berat enggak bagus, apalagi yang mengalami sakit pinggang karena bakal tambah sakit,” ujarnya.
“Gejala paling awalnya biasanya bahu enggak simetris, salah satunya lebih tinggi. Kemudian salah satu tulang belikat terlihat lebih menonjol, ada lipatan kulit tambahan (di punggung). Pada kasus ekstrem, badannya terlihat kayak tertiup angin (tubuh bagian atas terlihat miring dan melengkung),” tutur dr. Andra.
“Pada saat anak pubertas, panjang tulang akan bertambah. Kalau bengkok, bengkoknya semakin bertambah. Kalau mau cek, cek pada saat anak pubertas,” katanya.
Menurut dr. Andra, membawa tas yang berat memang bisa mengubah postur tubuh. Beban berat di belakang tubuh membuat posisi tubuh tertarik ke belakang, sementara leher justru cenderung menunduk ke depan.
Posisi tubuh seperti ini, lanjutnya, memang dapat menyebabkan rasa nyeri dan pegal pada leher serta punggung. Namun, hal itu tidak akan menimbulkan skoliosis, karena penyebab kelainan tulang belakang tersebut jauh lebih kompleks.
“Secara penelitian, 30 persen ada faktor genetik. Jadi, dari sepuluh orang yang kena skoliosis, tiga orang memang punya keluarga dengan skoliosis sedangkan sisanya enggak,” jelas dr. Andra.
Ia menambahkan, sekitar 80–90 persen kasus skoliosis masih belum diketahui penyebab pastinya. Kondisi ini disebut sebagai skoliosis idiopatik.
Masalah skoliosis umumnya baru terdeteksi saat anak memasuki masa pubertas, atau sekitar kelas 1 SMP hingga kelas 3 SMA.
Untuk mendeteksi skoliosis sejak dini, orangtua bisa melakukan cara sederhana. Anak diminta membungkuk seperti posisi rukuk, lalu orangtua melihat dari belakang apakah ada salah satu pundak yang tampak lebih menonjol. Jika iya, hal itu bisa menjadi tanda skoliosis dan perlu diperiksa lebih lanjut.
Sayangnya, skoliosis tidak bisa dicegah sepenuhnya. Menurut dr. Andra, yang bisa dilakukan adalah mencegah lengkungan tulang bertambah parah.
Penanganan skoliosis pun tergantung pada tingkat keparahan. Bila lengkungan berada pada rentang 25–45 derajat dan tulang masih bertumbuh, maka pasien disarankan menggunakan korset. Namun jika lengkungannya di atas 50 derajat, tindakan yang disarankan adalah operasi.
“Karena akan bisa bertambah satu sampai dua derajat per tahun. Kalau di umur 15 tahun sudah 50 derajat, artinya saat umur 40 tahun akan bertambah dan menjadi 75 atau bahkan 100 derajat,” ungkapnya.
Kondisi tersebut tidak hanya membuat tulang belakang semakin bengkok, tetapi juga memengaruhi panjang tubuh, rongga dada, dan rongga perut yang makin sempit. Akibatnya, penderita bisa mengalami sesak napas dan mudah lelah saat berolahraga.
Untuk memastikan kondisi dan mendapatkan penanganan yang tepat, dr. Andra menyarankan agar masyarakat melakukan pemeriksaan ke rumah sakit dan berkonsultasi langsung dengan dokter ortopedi.



