Cerbung | Mawar Hitam | Episode 8 -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Cerbung | Mawar Hitam | Episode 8

, 8/16/2021 08:38:00 PM

 


Cerbung: Mawar Hitam

Oleh: Musaafiroh El Uluum


“Mama ....” Bibir gadis itu bergetar memanggil seseorang yang sangat dicintainya. Genap empat tahun sudah ibunya menghabiskan umur di atas kursi roda. Menatap jendela kosong sembari sesekali meneteskan air mata. Semenjak kanker yang menggerogoti otak dua tahun setelah pernikahan membuat suaminya jatuh ke pelukan wanita lain.


Wanita yang kini hanya bisa mematung di samping jendela kamarnya itu tak menyangka, lelaki yang berikrar sehidup semati di depan orang tuanya benar-benar memilih alur lain, kisah yang tak pernah ada justru tercipta saat ia sungguh-sungguh mengharapkan kebahagiaan.


“Ternyata sehidup semati yang kau maksud itu tak seperti yang kubayangkan selama ini, Mas,” kata perempuan itu suatu hari di sebuah taman.


“Sehidup sematimu hanyalah rajutan benang yang ditarik ujungnya, lalu terurai seiring lepasnya ikatan yang tak begitu kuat.”


“Mar ....” Lelaki yang sedari tadi merunduk di sampingnya berusaha mengatakan sesuatu tapi langsung dicekal.


“Omong kosong!” cetus perempuan itu tanpa mau memberi kesempatan lelakinya berbicara.


“Dari awal, gagasan itu memang telah rapuh. Serapuh keyakinan yang pernah kuberikan kepadamu ... hiks.” Ia terlihat payah untuk melanjutkan kalimatnya. Serasa ada yang menyekat tenggorokan, sejurus kemudian panas merambah ke pelupuk matanya.


Si lelaki pun segera mengambil kesempatan untuk angkat suara, “Biar aku jelaskan dulu.”


“Tidak perlu! Aku sudah muak dengan semuua ini.” Suaranya memarau seiring isak tangis yang mulai tak terkendali.


Lelaki itu kembali terdiam. Ia tak lagi sanggup berkata-kata. Perasaan bersalah memenuhi dadanya, walaupun ia tahu ada sebuah kesalahpahaman yang harus diluruskan. Akan tetapi dirinya tak menghendaki sakit hati yang lebih mendalam pada wanita yang sangat dicintainya itu. Nyatanya, kebenaran itu juga menampakkan sebuah kesalahan. Kesalahan yang hanya membuat wanitanya semakin membenci dirinya.


Dua pasang mata menatap tajam ke arah jendela besar di lantai dua itu. Sosok-sosok  yang mengendap-endap di balik pinus besar di taman itu sangat berhati-hati dalam setiap pergerakan. Dua alis yang sedari awal membentuk palung, perlahan semakin menjauhi satu sama lain seiring bola mata yang terbelalak seolah tak percaya dengna penangkapan matanya.


Baca Juga: Cerpen | Puan Pembenci Hujan

“San, gua gak nyangka. Ternyata Viola itu rapuh,” desis Dila.


Sementara Santi tak menggubris, hanya memfokuskan diri pada satu titik pandang di depan sana.


Dua gadis itu membuntuti Viola yang mereka pergoki membawa serampai mawar hitam dari sebuah gang yang sepi.


Setelah dua kejadian penemuan mayat di kampus, keduanya merasa si pembunuh sengaja meninggalkan teka-teki dengan meletakkan setangkai mawar hitam di atas korbannya. Entah apa motif sebenarnya, yang jelas antara Santi maupun Dila saling berdebat tentang pelakunya.


“Coba deh San, yang pertama Pak Dimas. Dia deket sama Viola. Yang kedua, Presiden BEM yang gua tahu mereka sempet cekcok. Tapi, ya gak tahu juga sih. Di sisi lain ada cinta di lain cerita ada masalah. Logis, gak sih?” cerocos Dila justru bingung sendiri dengan pemikirannya.


“Masa segitunya, sih. Kalau memang benar ada masalah. Lalu kenapa dia tega menghabisi Pak Dimas yang katamu mereka ada rasa?” Santi balik bertanya. Sedang Dila hanya mengangkat bahunya.


Kaca besar di rumah itu terkena siluet, membuatnya gelap dari sebelumnya. Kedua gadis itu pun menggeser kaki mencari sisi yang lebih terang. Mereka terus bergerak ke arah yang dirasa agak melenceng. Bukannya semakin dekat justru tubuh mereka malah menjauhi taman, sampai-sampai tak sengaja menabrak sesuatu.


“Awww.”


“Aduh ...,” celetuk seseorang yang berhasil membuat ketiganya terjungkal.


“Denis???” seru kedua gadis itu bersamaan.


“Heh? Kalian ngapain di sini?”


Ketiganya saling bertatapan, seakan tanda tanya besar sedang menyerbu otak masing-masing.


# # # #


“Eh eh ... pelan-pelan, dong. Sakit tau.”


“Sini lu.” Dila menarik keras tangan Denis, menjauh dari rumah besar, tempat mereka bertemu tanpa sengaja.


“Apaan, sih?” sergah Denis sembari melepaskan pegangan perempuan itu.


“Kamu ngapain, Den, ngendap-ngendap di rumah Viola?” selidik Santi sembari mengerutkan kening.


“Eh ... oh ... emm ... enggak ngapa-ngapain,” jawab Denis seolah tak peduli tapi menunjukkan mimik yang tampak gusar.


“Kalian sendiri ngapain di sini?”


Mata Dila terbelalak ketika Denis justru mengembalikan pertanyaan. Ia tergagap, sesekali menatap Santi yang terlihat jauh lebih tenang.


“Hayo ... ngapain?”


Pemuda berkumis tipis itu terus saja mencecar hingga membuat Santi risih dan akhirnya angkat bicara, “Denis, yang patut dicurigai itu kamu. Ngendap-ngendap di rumah orang. Cowok lagi. Ntar dikira maling tau rasa kamu.”


“Ho’oh,” simpul Dila mendukung sahabatnya, “sedangkan kami, kan cewek. Nggak ada yang perlu dicurigai, dong. Justru niat kami baik pengen silaturahmi,” imbuh gadis gembul itu berbusa-busa.


“Ooh, gitu.” Denis manggut-manggut.


Keduanya pun bernapas lega, setidaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan alasan mereka berada di rumah Viola. Toh, mereka berhasil meyakinkan pemuda itu. keduanya memutuskan untuk pergi dari tempat itu sebelum akhirnya dicegah oleh Denis.


“Katanya mau bertandang ke rumah Viola, kok malah pergi? Yuk, bareng aja sama gua.”


“Gak mood,” ketus Dila.


“Lah, kok gak mood. Kenapa coba?”


Pemuda rese yang ditemui Dila dan Santi beberapa hari lalu di kantin itu mengeluh, sedangkan keduanya tak lagi menggubris.


“Wait ... jangan pergi dong, please!” teriaknya menghentikan langkah kedua gadis yang berangsur menjauh.


“Apalagi, sih?” Dila geram.


Keduanya pun memutar bola mata, malas. Namun berbalik juga seraya mendekapkan tangan di depan dada.


“Hehe ...” Pemuda itu terkekeh sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal, lalu berujar, “kenalin gua dengan Viola, dong.”


What the hell. Kedua gadis itu terperangah.


# # # #


Flash back


Berita kematian kembali tersiar. Kini, peristiwa itu menimpa Presiden BEM Dani Adrian. Pemuda tampan yang belakangan Dila ketahui sempat adu mulut dengan Viola. Yah, lagi-lagi kecurigaan kami mengarah kepada gadis bermata elang itu. Ah, bukan. Hanya Dila yang curiga. Kemudian ia mengolah retorikanya hingga seakan aku turut masuk ke dalam pemikiran yang lebih condong untuk menghakimi.


Asumsi egois itu berlanjut ketika kami melihat Viola membawa serampai bunga dengan kelopak aneh yang selama ini menghantui bunga tidurku. Mawar hitam. Setelah aku menceritakan pasal mimpi itu, kami pun memutuskan untuk mengikuti Viola sampai rumahnya.


Tak berselang lama, kami mendapati pemandangan di luar dugaan. Viola yang selama ini kami kenal judes nampak sangat rapuh di samping perempuan yang termangu di atas kursi roda.


Ah, Viola yang malang. Aku melihatnya begitu tak berdaya di depan kenyataan. Akan tetapi, mengapa aku merasa ada yang berbeda? Benarkah Viola mempunyai dua kepribadian? Tiba-tiba aku berpikir bahwa ada yang tidak beres di sini. Pasti ada alasan kenapa gadis elang itu bersikap sedemikian rupa.


Arrrghh ... perenunganku gagal saat seseorang membuat diriku dan Dila jatuh, ternyata orang itu adalah Denis, pemuda yang kami jumpai kemarin sore.


Kami bertiga sempat saling curiga, sampai aku dan Dila memutuskan pergi setelah akhrinya ia menghentkan kami dengan permintaan mengejutkan. Meminta untuk didekatkan dengan Viola.


Bagaimana tidak, kenal saja tak pernah, bertemu pun tanpa sengaja, karena dia ngebut dan aku hampir saja terserempet mobilnya.


Aish, aku rasa dia sedang jatuh cinta.


Bersambung ....

TerPopuler

close