Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Mataku tak lepas dari mengamati tangkai-tangkai aneh itu. Kini, rembulan setengah lingkaran telah melemparkan senyumnya. Sehingga keadaan sedikit lebih terang. Lututku masih dalam dekapan, dan getaran masih tersisa, luruhkan sendi-sendi, lunglaikan tulang kering dan betis.
“Sreeek
....” Tiba-tiba tangkai-tangkai bunga yang berhamburan itu bergerak seperti
diseret-seret, mengumpul menjadi satu gundukan di depanku sebelum akhirnya
berputar-putar di udara.
“Sa ...
nti ....” Kembang-kembang yang terbang melintang seakan menyunggingkan
seringainya, bersiap menyerang dengan tubi-tubi hantaman.
“Sa ... nti ...,” bisikan itu entah dari mana asalnya, mendenging-denging bak ratusan lebah yang berkoloni di gendang telinga.
Aku pun bangkit berlarian sembari menyumbat lubang telinga dengan kedua telapak tangan. Tak lagi peduli dengan apa yang kujajaki. Napasku semakin menggebu. Air yang mengalir tak terasa macam keringat, tetapi hujan lebat yang deras mengguyur hebat. Seraya bereriak kuayunkan tangan mencoba mengusir apa-apa yang tak bisa kuraih.
Ya, memang mawar itu tak lagi mengejarku, malah berjatuhan seperti benda yang kehilangan gravitasinya. Laiknya bunga musim gugur, rontok dari pohonnya. Namun, suara-suara itu tak henti-hentinya memburu. Bak peluru berkaliber menghujani kekalutan. Dalam sekejap aku telah tersesat di hamparan yang lebih luas dari sebelumnya. Lebih terang dari sebelumnya. Namun tetap sama. Menyeramkan. Kegelapan kembali menyelimuti. Bukan karena rembulan yang menghilang. Akan tetapi sosok-sosok hitam membesar dan meninggi. Menjadi penghalang sinar yang tak lagi menerpa wajah kacauku. Membungkam laju jalanku. Mengembuskan dingin yang meliliti tubuh mungilku.
“Sa ...
nti ....”
“Sa ...
nti ....”
“Sa ....”
“Tidak ....” Di dalam ruangan yang tak
begitu besar. Biasa disebut tempat tidur. Seorang perempuan muda baru saja
terbangun dari tidurnya. Kelihatan bahwa ia baru saja mengalami mimpi buruk.
Sebab mukanya yang elok itu terlihat pucat pasi. Bibir tipis pelengkap ayunya
yang merah muda kini nampak sedikit memutih. Dahinya berpeluh meski kipas pada
kamar itu masih setia berputar. Kesunyian agaknya telah menguasai malam, hingga
yang terdengar hanyalah napas besar dari mulut gadis berambut panjang
sepunggung itu. Tersengal seperti habis dikejar orang. Dan tik-tok jam beker
terpampang nyaring di atas bufet sebelah ranjang tidurnya.
“Ah ...
ternyata hanya mimpi.” Ia menarik napas lega setelah mengetahui dirinya masih
di dalam kamar. Lengkap dengan selimut tebal.
“Tapi kenapa?” tanyanya dalam hati.
Merasa ganjil dengan mimpinya. Selama 3 hari
berturut-turut dihantui oleh bayangan yang seakan menaruh benci terhadapnya,
ingin membalaskan dendam. Sehingga selalu mendatangi alam mimpi yang seharusnya
tersaji scene indah untuk dinikmati. Entahlah, mungkin sekedar
halusinasi. Efek samping keseringan menonton film horor. Tangannya mengibaskan
pikiran yang ricuh di otaknya.
“Aww
....” Kedua telapak tangan gadis itu memegang bagian bawah perut. Rupanya ia
kebelet pipis. Cepat-cepat mengambil langkah seribu ke kamar mandi setelah
menyingkirkan selimut yang menutupi anggota bawah badannya.
“Hah???” Sejurus kemudian kedua tangannya sudah berada di depan mulut kecilnya.
Terbengong-bengong. Terkejut setengah mati.
Manik matanya mendapati tanah setengah kering pada kedua telapak kaki. Seingatnya, ia selalu mebasuh kaki sebelum tidur, tetapi kenapa bisa ada kotoran disini? Seketika bulu romanya meremang. Mengingat kejadian yang ada di dalam mimpinya. Dahinya berkerut. Semakin nyata garis-garis kekalutan disana. Menampilkan bentuk alis yang menyatu padu dan tak mau lepas. Detak jantung memompa adrenalin keresahan di dalam tubuh yang menggigil. Bukan kedinginan lagi yang ia rasakan. Dentingan jam besar di ruang tengah pun ikut menyumbangkan gemuruh bersama desahan napas dalam kesunyian.
Bersambung ....