Dahlan Iskan dan Syafril (depan kiri) beserta rombongan ketika di kediaman Dahlan Iskan, Rabu (17/2/21) malam. |
Vnn.co.id, Magetan – Ini diceritakan sendiri oleh Dahlan Iskan di laman
webnya disway.id dengan judul Syafril
Tender. Pada Rabu (17/2/21) malam, Dahlan Iskan kedatangan tamu rombongan dari
pengurus pusat partai baru–yang tidak disebutkan namanya. Malam itu hujan sangat
deras, salah satu orang dari rombongan–yang diketahui dari Padang–ketika sampai
di kediaman ditanya perihal nama oleh Dahlan Iskan.
“Nama lengkap Anda siapa?” tanya
Dahlan Iskan.
“Syafril saja,” jawab orang itu.
Mendengar nama tersebut, Dahlan
Iskan berkomentar lagi sebab menurutnya rata-rata orang Padang itu namanya
panjang-panjang (dipakaikan nama marga orang tuanya).
“Berarti Anda satu-satunya orang
Padang yang namanya hanya satu kata,” katanya. Sedangkan orang tersebut hanya
tertawa.
“Di KTP dan SIM juga hanya satu
kata?”
“Iya.”
“Kalau di paspor?”
“Di paspor nama saya Syafril
Abdul Rahim, Pak,” ujarnya.
Dua kata di belakang nama tersebut,
kata Syafril merupakan nama ayahnya. Ia melakukan hal itu sebab katanya lagi, kantor
imigrasi tidak mau membuatkan paspor yang nama pemohonnya hanya satu kata.
Setelah itu, Syafril menceritakan
bahwa dahulu namanya terdiri dari tiga kata, namun karena menurutnya hal itu ‘ruwet’,
maka ia hanya menggunakan satu kata.
“Sebenarnya waktu kecil saya
punya nama tiga kata, Andhika Syafril Tanjung. Tapi ruwet. Lalu pakai Syafril saja,” jelasnya.
“Ibu saya Padang. Marga Koto. Sesuai
adat Minag berarti saya harus pakai marga ibu. Tapi ayah saya Batak. Marganya Tanjung. Menurut budaya Batak saya juga
harus pakai marga Tanjunga. Lalu tidak saya pakai dua-duanya,” imbuhnya
kemudian setelah ditanya alasannya.
Dalam tulisannya, Dahlan Iskan
menulis bahwa ayah dari Syafril memang berasal dari sebuah kampung dekat
Sibolga itu. Berarti satu marga dengan tokoh Akbar Tanjung dan Jenderal Faisal
Tanjung.
Dahlan mengaku, ia tertarik
berbicara lebih jauh sebab disertasi doktornya dua tahun lalu yang berjudul “Pengadaan
Barang di Kementerian Sosial yang Rawan Korupsi”. Judul itu terasa baru
baginya.
“Sekarang pun judul itu terasa
lebih aktual lagi–karena korupsi bansos besar-besaran di Kemensos terbongkar.” Begitu
kata Dahlan dalam tulisannya.
Syafril menjelaskan, penelitian
yang dijadikannya disertasi gelar doktor
hukum itu merupakan cara yang harus dilakukan guna memberantas korupsi di
Kementerian Sosial. Hapuskan tender, katanya. Selama masih ada tender tetap saja
akan ada sogok-menyogok.
Saat dilontarkan pertanyaan
tentang bagaimana fair tanpa tender, Syafril
mengatakan bahwa untuk melaksanakan setiap program, kementerian harus memiliki
rekanan. Tak hanya itu, kementerian juga harus mempunyai harga patokan untuk
unit barang yang akan dibeli menyesuaikan harga agen dan bukan harga eceran
atau pasaran. “Yang penting pemasok barang itu nanti sudah dapat untung,”
katanya.
“Lalu, tidak usah ditenderkan. Bagi
saja rata-rata ke semua rekanan. Semua rekanan mendapat pekerjaan sama,”
tambahnya.
Pengacara yang mengenyam
pendidikan S1, S2, dan mendapatkan gelar doktornya di Universitas Jayabaya itu
juga menuturkan kelebihan dari cara yang ia temukan itu adalah adanya keadilan di
kalangan para pengusaha–meskipun ia sadar bahwa caranya itu tidak dapat
dilaksanakan untuk saat ini sebab peraturan pengadaan yang tidak memperbolehkan–,
sedangkan sistem yang sekarang ia merasa hanya yang besar yang diuntungkan. Ia pun
mengusulkan perombakan besar sampai ke soal penyusunan kembali peraturan.
Syafril pernah menjadi pengusaha
rekanan dengan Kementerian Sosial lalu di Pertamina. Namun, ia menolak untuk
menyogok dan akhirnya kalah. Bahkan, belum lama ini ia ditawari memasok
kebutuhan bansos di Kemensos ia juga menolak.
“Kalau saya mau sudah ikut
ditangkap KPK,” kelakarnya.
Dalam perbincangan itu, Dahlan Iskan
juga mengetahui bahwa pria yang isrtrinya bekerja sebagai notaris itu adalah
orang yang telaten dalam hal religius, termasuk penelolaan keuangan keluarga.
Keluarga
ini tidak punya tabungan di bank. Alasannya: riba. Semua uangnya disimpan di
kotak khusus di rumahnya di Jakarta.
Ketika
ditanya apakah tidak takut kemakan inflasi ia menjawab, "Sebagian disimpan
dalam bentuk emas batangan. Sebagian lagi dalam bentuk dolar. Lalu ada juga
dalam bentuk rupiah."
Hampir
semua transaksi ia lakukan dengan cash.
Ia perlu menyimpan dolar untuk jaga-jaga perlu uang kontan mendadak. Bisa
ditukar ke rupiah dengan mudah.
Bagaimana
kalau harus isi pulsa dan beli token listrik? Yang hanya menerima dari transfer
bank?
"Kami
punya tabungan kecil di bank," ujar Sang Istri menimpali.
"Lho,
kan riba juga," sela Dahlan Iskan.
"Tabungan
kami kecil sekali. Cukup untuk beli makanan lewat online, beli pulsa, dan
listrik," kata Syafril.
"Biar
kecil, kan riba juga," seloroh Dahlan lagi.
"Oh,
begini," lanjutnya, "misalnya saya menabung Rp 10 juta. Saya tidak
pernah berharap bunga. Di hati saya tetap bahwa uang saya di bank Rp 10
juta," katanya.
"Kan, secara otomatis bank memberi bunga. Yang otomatis pula masuk ke tabungan," sahut Dahlan Iskan.
"Saya
sudah hitung, nilai tabungan saya itu terbatas. Kalau pun dapat bunganya, bunga
itu habis untuk uang administrasi bank," jawabnya.
Perbincangan
pun berakhir sebab jarum jam telah menunjukkan pukul 10 malam, dan rombongan
tahu bahwa Dahlan harus segera beristirahat.
Sedang
hujan belum mereda, Syafril beserta rombongan pamit langsung balik ke Jakarta.
Red:
Mega