Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Di kampus ...
Matahari telah merangkak semakin
jauh dari peraduannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh tepat. Artinya, tiga
puluh menit lagi kelas perkuliahan akan dimulai. Desau angin meniup ringan
pepohonan cermai, menerbangkan daun-daun di atas rerumputan. Syahdu.
Menari-nari bak daun maple di balik gerbang mohabbatein. Belum lagi kaki lincah
milikku memasuki gerbang universitas, sudah terpana saja dua pasang mata ini
pada suasana halaman yang nampak seperti kisah cinta perfilman India. Ah,
sedang berpikir apa aku ini. Kukedipkan mata seraya menggeleng pelan,
memulihkan kesadaran yang ngelantur ke mana-mana. Seutas senyum menyambutku di
seberang sana. Aku mengangguk menjawab lambaian tangannya. Tanpa pikir panjang
dan melihat sekeliling, kularikan langkahku menyisir gerbang tinggi yang
berdiri angkuh di depan kampus.
“Tin ... tin ....”
Sebuah alphard merah menyongsong langkahku yang hampir melewati besi tua
berpoles itu. Terpergap karena bunyi klakson yang tiba-tiba menghadang. Tanpa
banyak cakap mobil itu menyerobot begitu saja, mendahuluiku untuk masuk
gerbang.
“Woyy ... punya
mata gak, sih!” cetus seorang perempuan setelah menurunkan kaca mobil
miliknya. Dengan lirikan tajam ia melajukan otonya ke halaman kampus. Kuembuskan
napas kasar seraya melanjutkan langkah dengan geram. Agak dongkol diperlakukan
seperti itu oleh orang yang sama sekali tak kukenali.
Gara-gara kelakuan orang itu, wajah
yang tadinya secerah mentari kini mendung, mengerucut seperti capil pak tani.
“Yah, sabar aja,
lah. Mungkin emang aku yang salah,” gumamku dalam hati. Dengan segenap jiwa dan
raga kukembalikan senyum yang tadi sempat hilang di hadapan sahabatku. Setengah
berlari aku menghampirinya. Membayar rindu dengan pelukan hangat.
“Hay ...,”
tegurku pada Dila yang telah lebih dahulu menunggu. Ia tersenyum sembari
berucap, “Apa kabar?” Ya, maklumlah setelah libur semester selama 2 bulan, kami
tak pernah berjumpa maupun bertegur sapa karena jarak rumah yang jauh. Beda
provinsi. Walau untuk kuliah di tempat idamannya, ia harus indekos di sekitar
kampus. Waktu liburan pasti dimanfaatkannya untuk pulang ke kampung halamannya.
Sekadar melepas rindu bersama keluarga yang ia sayangi.
Ia adalah gadis yang cantik dan
ramah. Tak pernah sekali pun aku kehilangan ukiran indah dari wajahnya. Namun
semenjak ditinggal ibunya, senyuman yang selalu memancar itu seakan pudar.
Beberapa bulan ia sempat stres karena kepergian wanita yang sangat berjasa
dalam hidupnya. Dia mengatakan kalau matinya tidak wajar. Itulah yang
menyebabkan dirinya kehilangan jiwa dan kesadaran di alam nyata.
Berminggu-minggu, berkemelut dengan kenangan masa kecil, masa-masa yang tak
pernah ingin ia akhiri. Sekarang, tinggal nenek dan adik lelaki yang ada di
rumah. Ayahnya? Jangan ditanya lagi. Muak ia mendengar namanya saja. Apalagi
menceritakan kisah hidup yang suka foya-foya dan main wanita. Menangis ia,
semakin meraung-raung saat aku mengatakan bahwa seburuk apapun, ayah tetaplah
orang tuanya. Dan tak boleh dibenci. Membuatku ingin selalu mememeluk dan
menguatkannya agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sejak saat itu, aku
tak pernah menanyakan perihal ayah kepadanya.
“Eh ... kok
bengong, sih?” Dila menepuk pundakku. Sadar bahwa dari tadi aku tak fokus
diajaknya bicara.
“Hehe ....” Aku
tertawa kecil seraya menggaruk tengkuk yang tak gatal.
“Tanya apa
tadi?”
“Kamu gimana
kabarnya?” katanya lagi dengan penekanan di setiap katanya.
“Oh ....”
Diriku malah meng-oh-kan saja.
“Kok oh, kamu
kenapa, sih ...,” tanyanya lagi sebelum aku menjawab pertanyaan yang pertama.
“Soal cewek
tadi, ya?” “Emang tuh orang ya, sombong banget. Pengen gue tonjok aja
mukanya.” Aku tersenyum melihat ekspresi lucunya ketika sedang sebal.
“Siapa, sih
dia?” tanyaku kala penasaran menyelinap.
“Dia anak
hukum, kelasnya di sebelah ruangan kita. Pintar, sih ... tapi gayanya
yang belagu itu, lho ... bikin aku pengen nendang aja, tuh orang.”
Berbusa-busa Dila nyerocos tentang kekesalannya. Membuat pipinya yang chubby
terlihat memerah dan bergerak-gerak.
“Ha ... ha ....
ha ....” Aku hanya bisa tergelak melihat tingkahnya.
“Santi!!!”
Agaknya aku membuat dirinya semakin gemas.
“Orang lagi kesel
kok malah diketawain!”
“Iya iya ... udahan, yah ... kamu lucu kalo lagi kesel, hihihi.”
Beginilah dua sahabat yang baru bertemu, satu menyabari satu mengusili. Terkadang kau temukan bahagiamu pada seseorang yang sebelumnya tak pernah mengenalmu, tetapi ia sangat memahamimu
# # # #
Pagi begitu cerah oleh shyam di
timur sana. Intensitas cahayanya silaukan mata dunia. Sesilau itu kacamata
hitam elegan, bertengger manis membingkai mata elang milik gadis muda yang
bersembunyi di baliknya. Masih pagi benar dia sudah berpakaian necis dengan
dress merah rose selutut. Lengan ¾-nya memperlihatkan ukuran diameter yang
ramping. Mendayung-dayung santai saat berjalan. Istilah Jawanya, “Mblarak
sempal”. Kakinya yang jenjang berkulit kuning langsat asik menjinjit di atas
sepatu ber-hak setinggi 5 cm. Tahulah jikalau ditinjau dari pangkal rambut
hingga ujung kaki ia adalah wanita berkelas. Semua serba branded. Belum lagi
aksesoris yang dikenakannya, mulai anting acrylic nomor 1 standar Perancis, jam
tangan, gelang, sampai tas jinjing bermerk Gucci yang diapit bahu rampainya.
Mengundang bola-bola mata memutar cepat dan tanggap.
Mobil mewah itu melaju dengan
kecepatan 10 km/jam. Menerabas jalanan raya yang masih sepi kendaraan. Agaknya
cuaca tak bersahabat. Jendela yang semula membiarkan angin menembus bagian dalam
mobil, kini perlahan bergerak membungkam suaranya yang ricuh, karena
diprediksikan sebentar lagi hujan lebat. Terlihat mega kelabu berarak ke arah
barat. Meredupkan sinar cerah Sang surya. Bukan mall tujuan gadis itu, atau
kantor tempat bekerja. Namun belokan jalan sempit dan sepi. Untungnya, mobil se-ukurannya
bisa masuk dengan selamat dan aman tanpa goresan. Tak banyak rumah penduduk di
sana. Apalagi rumah bertembok, kesemuanya merupakan bangunan kayu dan triplek
yang mungkin akan roboh jika ditanduk babi hutan. Ban oto merah itu terus
menggelinding, lewati pematangan sawah yang mengering dan nampak tak terawat.
Sampai ujung gang, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah gedhek yang
sangat sederhana. Dari luar, anyaman
bambu itu terlihat mencuat dari jalur kerangka semestinya. Warna catnya pun
lusuh dan mengelupas sana-sini. Tak dipungkiri kekokohannya yang dimakan usia,
tetap bertahan meski belukar-belukar telah melilit sebagian tubuhnya yang penuh
bintik-bintik jamur.
Di dalam baja beroda empat, yang memiliki kilau warna kuat, seseorang sedang duduk di atas jok mobil dengan perasaan gundah. Menatap nanar pada rumah tua di sampingnya. Wajah resah itu didukung dengan dahi yang membentuk banyak lipatan ke dalam. Kerlingan mata yang tak biasa, berkali-kali mengedip menahan rasa yang membuncah di dalam dada. Entah apa yang sedang dipikirkan orang itu, sehingga kacamata yang sedari tadi menggantung pada jemarinya ikut bergetar merasakan gulana yang mendesah. Seketika ingatannya kembali ke scene beberapa hari lalu. Saat dirinya sudah lama tak mengunjungi rumah itu ....
# # # #
Rembulan malam 15 bercahaya dengan
lingkar sempurna. Berpijar memancarkan kehangatan pada lintang-lintang yang
menikmati temaram. Walaupun ia masih tersenyum pada dunia, agaknya tak mengubah
pendirian langit. Hitam tetap sama, warna yang selalu dikesankan pada malam,
dan mata-mata yang terlenakan oleh kenyamanan menatapnya. Ringan, damai nan tenang.
Terlelap dalam buaian kasih lindap. Insecta bersayap tipis mengerik berisik di
balik sesemakan. Bersenandung ria, saling beradu suara, menarik perhatian
betina, bergulat dengan desau angin yang mendingin. Tak ada yang berhak menghalangi
ocehan mereka. Karena memang sudah tugasnya mengercikkan takdir. Meneriakkan takbir
di sela dengkuran selimuti nyenyak ketertawanan. Hingga berhenti ketika sebuah
suara atau pergerakan mendekat, kemudian berbunyi lagi. Berhenti lagi mendapati
berat langkah kaki menapaki bumi. Terdengar menyaring lagi dan mendadak sunyi
oleh dorongan angin dari hentakan sepatu besar milik seorang lelaki muda.
Malam semakin lindap, Sang Dewi tetap kuat menyorot seisi bumi. Namun, tidak dengan mata pemuda yang tengah berjalan sempoyongan pada jalan setapak yang sepi kehidupan. Sesekali dirinya terjatuh karena tersandung bebatuan yang mencuat dari tanah yang ia lewati. Bangun jatuh lagi, tak sanggup menahan bebannya sendiri. Ia mengerang, tak jelas apa yang dikatakan. Penampilannya berantakan. Kaos oblong putih dibalut jaket levis biru dengan semburan putih di bagian sikunya yang digulung. Benang-benang menyembul dari robekan yang memenuhi lututnya, dan kalung rantai melingkar di leher menambah kesan korak yang dalam. Sembari tertatih-tatih melangkah, tangannya tak berhenti mengacak-acak anak rambut yang cocok disebut jambul-sebab ia terlau kering, kusut, dan kaku. Ketidaksadaran bergelayut pada kelopak mata yang menghitam, berat. Seketika ia jatuh tersungkur akibat kerikil yang tanpa permisi menyeruduk jempol kaki perjaka yang baru dewasa itu.
Bismillaahirrahmaanirrahiim ...
Pemuda itu terlihat memaku, menunduk dalam mendengar sebuah nama dilantunkan. Iya, nama yang sangat istimewa. Tertata indah pada lafadz-Nya. Kalam itu selalu merdu menghambur dari toak mushola setiap subuh menjelang. Rasanya telah lama ia tak mendengar lantunan suci Alquran. Telah lama pula ia tak menengok hati yang selama ini memendam kerinduan mendalam. Rindu yang teramat pada Tuhannya. Oh, Tuhan. Lirihnya sunyi. Perlahan cairan hangat meleleh ke hidung bangirnya. Ia tak tahu. Apa yang membuatnya menangis. Apakah rindu yang telah menjadikannya seperti ini? Ataukah rasa bersalah yang tak berkesudahan karena sekian lama tak pernah menjenguk Tuhan yang selama ini bersemayam dalam lubuknya?
Ia pun berusaha bangkit, berdiri
dari posisinya hendak melanjutkan langkah yang sempat tertahan. Punggung tangan
yang berkeringat itu mengusap air yang membasahi pipinya. Ia merasa seakan
menjadi anak kecil yang cengeng. Merengek pada ibunya agar digendong. Namun apalah
daya, tak dapat kering sebab air itu terus saja mengalir.
Dengan mata masih meremang, ia
berjalan lagi dengan kondisi yang belum stabil. Terhuyung dan tak luput dari
tersungkur. Menyusuri keheningan subuh yang baru akan dikumandangkan. Hingga dirinya
tiba di sebuah rumah kecil dengan pendar lampu minim. Ingin dirinya masuk dan
segera merebahkan tubuh di atas kasur. Nihil, pintu itu terkunci, sedang nyamuk-nyamuk
telah menggigit sana-sini. Dengan lemah tangannya mengepal, mengetuk pintu
tanpa daya. Sehingga yang berbunyi bukan ketukan yang seharusnya tuk-tuk, akan
tetapi getokan beritme panjang.
“Dok ... dok
... dok ....”
Dari dalam
terdengar slot kunci yang dibuka, ‘klek’. Menampilkan wajah tua yang resah,
antara amarah yang membuncah dan khawatir yang mengalir pada pembuluh darahnya.
“Adi!” pekik seorang
lelaki dari balik pintu. Pemuda itu tetap melangkah menuju ruang tengah dan terlihat
tak peduli.
“Kamu mabok,
Nak?” tegurnya lagi sembari memegang kedua bahu pemuda itu untuk dihadapkan
padanya. Dari cara memanggil, telah nampak bahwa pemuda itu adalah anak dari
lelaki yang kini menatapnya nanar. Tak habis pikir ia dengan anak bongkotnya.
“Ahhh ...,”
elaknya menyingkirkan tangan lelaki di hadapannya sebab merasa langkahnya kini
dihalang-halangi.
“Adi!!!”
Laki-laki paruh baya itu menegaskan bicaranya. “Kenapa kamu jadi seperti ini?
Mau jadi apa kamu, hah?” Agaknya emosi pria itu memuncak. Hal itu diperlihatkan
pada intonasi tekanan tiap kata yang keluar. Sampai-sampai kumis tebalnya ikut
bergetar bersamaan amarah yang meletup-letup.
Pemuda yang
gontai menuju kamarnya itu menghentikan langkah dengan tatapan kosong. Raut wajahnya
beringsut menyungut, dan alis tebal mulai menyatu. Matanya seperti menemukan
kilatan cahaya yang nyalang. Sejurus kemudian, ia membalikkan badan mengadu
tatap seraya berucap, “Lalu kenapa? Apa itu urusan bapak?” Rahangnya menegang
menahan kekecewaan mendalam. Kata-katanya berhasil menghujam ulu hati menjelma
kobaran yang berapi, membuyarkan emosi yang sedari tadi tergumam lirih.
Bersambung ....