Menkeu Blak-blakan, Salah Kelola Fiskal & Moneter Jadi Biang Demo Ricuh Agustus

Jakarta, VNN.co.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan penyebab utama aksi demonstrasi besar yang mengguncang Jakarta pada akhir Agustus 2025.
Menurutnya, gejolak itu dipicu kesalahan pengelolaan fiskal dan moneter yang sudah berlangsung lama, bukan semata karena tekanan global.
“Kemarin demo itu, itu karena tekanan berkepanjangan di ekonomi karena kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sendiri yang sebetulnya kita kuasai,” ujar Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9/2025).
Purbaya menjelaskan, salah satu kesalahan pemerintah adalah menahan belanja anggaran dengan menaruh dana di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA). Akibatnya, likuiditas di pasar uang kering dan sektor riil ikut tersendat.
Padahal, kata Purbaya, saat pandemi Covid-19 pemerintah sempat melakukan langkah sebaliknya. Pada 2021, dana Rp300 triliun dipindahkan dari BI ke perbankan. Langkah itu terbukti efektif menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk hingga kontraksi, lalu kembali tumbuh stabil di kisaran 5%.
“Mei 2021 dipindahkan uang sebesar Rp300 triliun dari BI ke sistem perbankan, laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit, 11% terus dijaga bank sentral juga di atas 20%, itu yang selamatkan ekonomi kita,” jelasnya.
Namun, situasi berbalik pada 2023 ketika BI dan pemerintah mengetatkan likuiditas secara bertahap. Akibatnya, laju pertumbuhan uang jatuh hingga 0% pada pertengahan 2024. Dampaknya terasa di masyarakat: sektor riil melemah, aktivitas bisnis tersendat, hingga muncul narasi “Indonesia gelap.”
Parahnya, menurut Purbaya, kesalahan itu justru ditutupi dengan menyalahkan faktor eksternal. “Kita semua tunjuk ini gara-gara global, padahal ada kebijakan dalam negeri yang salah juga, yang utamanya mengganggu kita karena 90% perekonomian kita di drive domestik demand,” tegasnya.
Ia menambahkan, sempat ada harapan pada awal 2025 ketika pertumbuhan uang primer naik 7% di bulan April. Namun, kondisi kembali memburuk setelah Mei hingga Agustus 2025 ekonomi ditekan lagi lewat kebijakan bunga tinggi, penarikan pajak agresif, dan keterlambatan belanja APBN.
“Pemerintah karena terlambat membelanjakan anggaran, uangnya tetap di bank sentral. Pajak rajin ditarik, enggak apa-apa kalau dibelanjakan lagi. Tapi kan enggak, sistem jadi kering. Bank sentral kita juga sama,” pungkasnya.***



