Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Huft .... Seorang
perempuan menghela napas panjang sembari berkali-kali menengok jam tangan
Tajima berdiagonal kecil yang melingkar cantik di tangan kanannya. Suntuk. Dilihatnya
jarum telah menunjukkan angka 10 lebih 30 menit. Artinya, waktu perkuliahan molor setengah jam dari biasanya. Ia terus
saja membolak-balik lembar makalah di atas meja hingga seseorang berhasil
membuatnya tersentak dengan kedatangannya.
“San ... san!!!”
“Ish, ada apa, sih?” geram Santi
setelah membenarkan posisi duduk dari kekagetannya. Hampir saja ia meloncat.
“Tadi gua mergokin Si Viola lagi
pacaran sama Pak Dimas,” bisik Dila dengan mata berbinar bak menang lotre.
“Oh, ya?” tanya Santi balik sembari
membelalakkan mata.
“Iya, malah pelukan gitu,” sambung
gadis berpipi gembul itu semakin serius merasa didukung oleh sahabatnya.
“Wow ...,” kata Santi nampak
terpukau, “kepo banget, sih kamu jadi orang,” sewot Santi akhirnya seraya
memukul dahi karibnya dengan lembaran tebal di tangan lalu melenggang
meniggalkannya dengan sisa kata ‘aw’. Gadis itu pun mendengus kesal.
“Pagi anak-anak.” Dosen pun
datang ketika Santi telah bersiap di depan kelas dengan materi presentasinya.
“Orientalisme kajian tokoh
Richard Bell, siapa yang presentasi?” tanyanya sembari memasukkan kedua tangannya
ke saku celana.
“Saya, Pak,” sahut Santi.
“Oh, kamu ya. Maaf-maaf saya ga kelihatan,” katanya kalem, “oke, langsung saja kita mulai, ya.”
# # # #
“Baik, diskusi saya cukupkan. Santi,
ini makalahnya direvisi ulang. Spesifikkan ... em, maksud saya ... kerucutkan
pada bagian latar belakang dan ada satu poin pemikiran yang luput dari
pembahasan di sini,” lugas pria di hadapan mahasiswinya bersiap meninggalkan
ruangan.
“Oh baik, Pak,” seloroh Santi
lalu mengikutinya berdiri sebagai bentuk penghormatan.
“Dua hari lagi, bisa?” Perempuan
itu menggigit bibir bawah mendengar penuturan dosennya.
“Du ... dua hari ya, Pak?” Santi nyengir
sembari mengulangi perkataan yang ditujukan kepadanya.
“It’s no problem, it’s no problem jika kamu mau nilai makalah yang
sekarang. Kalau gitu saya masukkan saja tanpa perlu direvisi.”
Plasss ... kata-kata itu terasa
menohok sehingga dengan cepat ia menyabetnya, “Oke-oke, Pak. Saya akan revisi.”
Ahh ... berat sebenarnya jika ia harus merubah isi makalah,
walaupun hanya sebagian saja. Namun, itu sungguh ... ahh, sudahlah. Kelunya dalam hati sembari menepuk-nepuk jidatnya
sendiri.
“Baiklah, cukup sekian dan terima kasih. Saya suka cara berpikir di kelas ini,” ujar Dosen pengampu itu dengan sedikit menyunggingkan senyum, “dan presentasi kamu ...,” ucapannya berhenti sejenak seraya mengarahkan pandangan ke arah Santi yang sedari tadi sibuk merintihkan nasibnya, kemudian merasa juga jika dirinya sedang menjadi pusat perhatian, “good.” Kata-kata itu berhasil membuatnya tercengang untuk kedua kalinya.
# # # #
“Wih ... keren ...,” sorak Dila
sembari mengacungkan kedua ibu jarinya kepada Santi. Sementara Santi hanya
mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
“Kenapa, San? Udah dipuji gitu
sama Pak Zain, bukannya girang malah cemberut aja. Nih, ya andaikan aku, pasti
udah loncat-loncat jantungku,” serunya ekspresif.
“Hah ...,” sela Santi lalu
tertawa. Terkadang kehaluan sahabatnya itu sering berlebihan.
“Tuh, kan ketawa ... emang Dila,” ucapnya sembari membusungkan dada karena merasa hebat telah membuat sahabatnya sedikit lepas dari dilema perevisian.
# # # #
Alphard merah itu mengkilat
diterpa sorotan cahaya Sang Raja Siang. Rupanya sejak pagi tadi mobil itu belum
berpindah posisi. Tak lama kemudian, perempuan muda keluar dari gubuk reyot
dengan serangkai bunga di tangannya. Bersama seorang wanita renta ia berjalan lebih
jauh dari pintu tua menuju kendaraannya.
“Saya pulang dulu ya, Nek,” ujar
gadis itu sopan.
“Iya, Cu. Hati-hati ... salamkan
pada mamamu,” jawabnya pelan sembari mengusap lengan gadis itu. Ia pun
mengangguk dengan tidak meninggalkan senyum manis pada wajahnya.
Sejurus kakinya melangkah ke arah
otto merah yang setia menunggunya, namun sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Viola”
Gadis itu menoleh ke sumber suara, sesosok pria berdiri tak jauh dari gubuk dengan pakaian serba hitamnya. Anak rambutnya tertiup angin, menampakkan segurat khawatir pada raut ayunya, akan tetapi dengan cepat kembali ke keadaan semula. Ia sanggup mengendalikan diri lantas segera meraih sayap mobil dan cepat-cepat melajukannya.
# # # #
Sebagaimana rencana, aku dan Dila telah bersepakat untuk ngampus lebih awal sebab selain Dila ingin mengembalikan buku perpus, aku juga punya janji soal pemenuhan nilai tugas matkul Pak Zain dua hari yang lalu. Sesampai depan gerbang, ternyata pagar besi itu masih rapat terkunci.
“Duh, gerbangnya masih digembok,
San,” kata Dila kecewa.
“Wah, mungkin kita kepagian, ya?”
“Ih, enggak. Seharusnya jam
segini pak satpam udah dateng, sih.”
“Emm, berarti pak satpamnya
telat, nih.”
“Iya keknya.”
Semenit dua menit kami menunggu
sembari mondar-mandir di depan gedung berlantai empat itu sebelum akhirnya
orang yang dinanti telah datang.
Tin ... tin ....
“Pagi, Neng ...,” sapa seorang
berseragam putih biru di atas kuda besinya.
“Pagi, Pak. Tumben telat,” kata
Dila ketika lelaki paruh baya itu menenteng kunci-kunci yang mengharuskannya
membuka dan menutup pintu-pintu gedung besar itu setiap harinya. Dari cara
memasukkannya ke lubang gembok, seakan terlihat sudah kerja kerasnya sekeras
suara berat perputaran gerigi-gerigi berkarat di sana. Seolah gemerincing
setiap pergerakannya bercerita akan keteguhan hati jiwa pengabdi yang telah
bertahun-tahun mengabadikan darmanya lewat profesi.
“Iya, Neng. Kena macet tadi.”
“Pagi bener, Neng?” Aku tersentak
dengan petanyaan pria bertopi biru itu. Sebab dari tadi pikiranku sama sekali
tak mengindahkannya.
“Eh, iya, Pak. Mau ketemu sama
dosen,” sahut Santi.
“Oh ... silakan.”
“Makasih, Pak.”
“Iya, Neng,” timpalnya ramah. Kemudian
bergegas menuju pintu demi pintu lalu menaiki lantai demi lantai untuk
menyelesaikan tugasnya.
Setelah gerbang
terbuka lebar, segera saja kakiku bergerak menyusuri halaman luas yang masih
lenggang dari kendaraan-kendaraan warga kampus. Tak banyak cakap antara aku dan
Dila, hanya riuh rendah angin yang sibuk membuat rerimbunan daun pohon di sudut-sudut
kampus itu menimbulkan suara, sebelum akhirnya Dila mengajakku untuk duduk di
kursi depan kelas seperti biasa. Namun, entah mengapa aku ingin sekali
mengunjungi kepermaian taman belakang, jalan setapak menuju tempat praktik
anak-anak Biologi.
Berkali-kali
Dila menolak, berkali-kali pula aku membujuknya menuruti kemauanku. Pada akhirnya
ia mau membuntutiku ke taman belakang kampus.
Aku memang
belum pernah ke sana. Selain malas, tugas menuntutku terus berkutat di dalam
perpustakaan dengan diktat-diktat tebal di sana. Kesunyiaan tempat itu pun
kumanfaatkan merefresh kejenuhan
dengan menikmati komik maupun novel horor yang kubeli di Orange Book Store.
Belum juga sampai
di tempat yang dituju, kami telah disambut dengan semerbak harum melati serta warna-warni mencolok dari tanaman yang disebut-sebut Rosa.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di balik sesemakan di sana. Tak ada yang
bergerak, akan tetapi sebuah benda nampaknya tak asing untuk dikenali jenisnya.
Pelan-pelan aku mendekatinya.
“San, mau ke
mana? Di sini aja, banyak bunga-bunga cantik, uwuw” pinta Dila terlihat gemas.
Aku tak
mempedulikannya seraya meneruskan langkahku yang semakin mendekati rasa
penasaranku, setelah semakin dekat semakin aku bisa mengenali bahwa benda itu
ternyata sepatu. Tetapi, kenapa ada
sepatu di situ? Semakin merajuk penasaranku ini,
sehingga aku tak peduli seberapa jauh aku melangkah meninggalkan Dila di sana.
“Ahh ...,”
teriakku seraya menabok lengan atas Dila karena mengagetkanku dengan
kehadirannya tiba-tiba di sampingku, “Ish, kamu Dila.”
“Ih, habisnya
kamu, sih. Diajakin ngomong malah pergi,” sergah Dila membela diri.
“Ada apa, sih? Ngapain?
Ngelihatin apaan? Ma ... emmmbbb,” tanyanya memberondongku, seketika kubungkam
mulutnya, mengisyaratkan untuk tetap tenang lalu mengangkat telunjukku ke arah
yang membuatku penasaran.
Tanpa banyak
protes ia mengangguk tanda paham apa yang kumaksud, namun tak lama lagi ia
berbisik, “Itu apa, San?”
“Aku juga gak
tahu,” jawabku juga berbisik, hampir-hampir tak keluar suara hingga yang
terlihat hanya mulut yang bergerak-gerak a-i-u-e-o.
Kami pun
merapatkan diri satu sama lain, mencoba semakin dekat dengan benda di balik
rimbunan perdu itu. Seketika happ ... seekor kucing hitam melompat ke arah
kami, yang akhirnya lagi-lagi aku berteriak, “Aaahhh ....”
“San, kucing
hitam, San ...,” jerit Dila sambil mengibas-ngibaskan tangannya di atas
bajunya. Seolah membuang apa-apa yang menempel di sana.
Sementara aku,
sama. Tetapi sedikit lebih tenang daripadanya. Sebab, aku terbiasa dengan
sesuatu yang berbau mistis.
“Kamu kok
tenang-tenang aja, sih San?” protesnya. Sedang aku hanya mengangkat alis heran menatapnya.
“Itu kucing
hitam, San. Sial kalo kita diloncati atau tersentuh,” jengkel Dila yang kusambut dengan gelengan tak peduli.
“Mitos,”
cetusku. Sejurus kemudian fokus kami tak lagi ke kucing hitam, tetapi kembali
ke benda di balik semak belukar tadi.
“Tapi, kok. Itu
manusia apa bukan, sih,” tanya Dila semakin terperas juga jantungnya.
Aku juga tak
mengira jika sepatu itu tak bergerak sama sekali, jika memang benar ada manusia
yang mengenakannya. Sebab suara jerit kami yang terlalu nyaring.
“Neng, kenapa,
Neng,” tanya seseorang tiba-tiba yang baru saja muncul dari belakang kami. Oh, ternyata
pak satpam yang mengaku mendengar teriakan kami tadi.
“Dari sana,
saya dengar lho neng-neng ini teriak. Ada apa?” tanyanya lagi.
“Emm ... emm
...,” jawabku terbata, “eng ... enggak, Pak. Eng ... enggak ada apa-apa.”
“Semuanya aman
terkendali,” timpal Dila mengulum senyum sembari mengacungkan dua huruf ‘o’
yang dibentuk dari telunjuk dan ibu jarinya.
“Oh, gitu. Ya sudah kalo begitu. Bapak lanjut kerja dulu, ya,” katanya lalu beranjak pergi.
Kami pun kembali mengamati sepatu di sana. Namun, secara tak sadar ternyata kami sudah sangat dekat dengan keberadaan benda yang sedari awal menggedor-gedor lubuk kami, dan saat berbalik pun lagi-lagi kami histeris mendapati sekujur tubuh manusia tergeletak di sana.
“Aaahhhhh ....”
Teriakan kami bersamaan membuat satpam yang telah menghilang dari pandangan
kembali terbirit-birit menghampiri.
“Kenapa lagi,
Neng?” tanyanya memburu alasan. Napasnya tak beraturan.
Sementara aku
tak lagi dapat berkata-kata. Tegang. Hanya mengarahkan pandangan pak satpam ke
arah sosok yang telah lebih dahulu kami ketahui dengan satu jari. Ia pun
tergopoh-gopoh menuju ke arah yang kutunjukkan.
“Hah!!! Mayat???” Ia terpekik. Sudah kuduga ekspresinya juga menunjukkan kepanikan. Sementara baik aku, Dila, dan pria berseragam putih biru itu tak tahu harus ke mana dan bagaimana. Roman kami diselimuti kesusahan, kehilangan, dan kegundahan.
Bersambung ....