Nyastra, Itu Bukan Sastra. -->
IKLAN PEMDA BEKASI HUT RI 2023 VNNCOID

Nyastra, Itu Bukan Sastra.

, 3/03/2024 06:34:00 AM


Vnn.co.id, Kabupaten Bogor - Di Era yang berlebihan informasi ini berseliweran dalam sosial media kata-kata yang dianggap sastra karena terkesan beda dan tak biasa. Hal itu bersamaan dengan gambaran keadaan emosional atau kesan yang muncul pada seseorang (vibes).

 

Seringkali itu lewat setiap detiknya dalam for your page (FYP) tiktok dan banyak sekali diposting ulang, banjirnya informasi membuat manusia tak lagi bisa membedakan mana yang “asli” dan mana yang “imitasi”. Kata-kata yang terkesan indah itu sudah dinilai dalam situasi yang sekarang adalah bentuk karya sastra.

 

Berdalih bahwa itu sebentuk karya sastra, kebanyakan mereka berusaha keras menerakan kata-kata yang luar biasa  wah, indah-indah. Mungkin dengan tujuan membuat pembaca terkesan,  menganggap mereka kaya diksi dan kosakata, menganggap mereka sudah luar biasa berpengalaman dalam dunia kepenulisan.

 

Tentu saja kata-kata indah itu tidak salah, tak ada masalah, dan boleh kapan saja digunakan. Akan tetapi perlu kita bedakan antara penggunaan sastra dengan nyastra. Di mana 'sih bedanya?

 

Karya sastra pada umumnya dianggap memiliki nilai, sejarah serta 'cita rasa' yang tinggi. Akan tetapi jelas beda dengan nyastra. Nyastra di sini saya artikan 'mempergunakan kata-kata/diksi yang terlalu berlebihan'. kesusastraan menjadi media untuk merekam, menyimpan, serta menyebarluaskan nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran moral, serta kearifan lokal yang menjadi tuntunan penting dalam perjalanan manusia Bali untuk menjadi manusia yang lebih baik.

 

 

Seringkali nyastra juga menggunakan sinonim semena-mena.  Semua kita rasanya tahu jika netra berarti mata dan saliva berarti ludah. Namun tak begitu saja netra dan saliva bisa digunakan sebagai sinonim pengganti kata mata dan ludah.

 

'Netra' memang berarti 'mata', namun tak berarti bisa menggantikan kata 'mata' itu sendiri. Eksis dalam kata tuna netra, rasanya aneh jika digunakan misalnya dalam kalimat 'Sudut netranya meneteskan permata bening' atau 'Kedua netranya memerah akibat lamanya menangis', bukan?

 

Dokter saja tidak pernah menggunakan kata saliva jika sedang berkomunikasi dengan pasien, jadi mengapa kita harus mempergunakan istilah medis tersebut dalam kalimat fiksi sekadar 'demi terbaca keren'? Banyak penulis berusaha terlihat kaya diksi, namun bukan berarti kata apa saja bisa digunakan untuk menggantikan kata sederhana dan banyak dipakai. (Kompas)

 

Penggunaan kata-kalimat 'over ajaib' dalam karya prosa/fiksi. Pernahkah membaca kalimat penuh kata-kata 'berlebihan'? Okelah jika ingin sekadar berpuisi atau merayu gebetan. Namun jika terlalu nyastra dan penuh kosakata ajaib sepertinya malah akan membuat pembaca bingung dan termiring-miring membayangkan, mencari arti kata itu di kamus, atau malah skip karena pusing.

 

Sastra itu baik, berusaha melestarikan sastra-bahasa juga sangat baik. Sesekali tak apa-apa menyisipkan majas, ungkapan, dan lain-lain. Namun karena mayoritas pembaca dan pengikut media sosial akan jauh lebih paham sesuatu yang singkat, padat dan jelas, sebisanya kita hindari penggunaan berlebihan kata-kata yang berusaha keras kedengaran nyastra.

 

Itu semua terjadi karena budaya literasi kita rendah, dan Taufik Ismail menyebutnya dengan istilah “tragedi nol buku” Mengapa disebut Tragedi? Taufik Ismail melakukan penelitian tentang “Kewajiban Membaca Buku Sastra di SMA di 13 negara pada Juli-Oktober 1997. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 Negara dan Bertanya tentang kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, bimbingan menulis, dan lengajaran sastra di tempat mereka.

Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji. Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara:

1. SMA Thailand: 5 judul di Narathiwat tahun 1986-1991

2. SMA Malaysia: 6 judul di Kuala Kangsat tahun 1976-1980

3. SMA Singapura: 6 judul di Stamford College tahun 1982-1983

4. SMA Brunei Darussalam: 7 juduldi SM Melayu I tahun 1966-1969

5. SMA Rusia Sovyet: 12 judul di Uva tahun 1980-an

6. SMA Kanada: 13 judul di Canterbury tahun 1992-1994

7. SMA Jepang: 15 judul di Urawa 1969-1972

8. SMA Internasional Swiss: 15 judul di Jenewa 1991-1994

9. SMA Jerman Barat: 22 judul di Wanne-Eickel tahun 1966-1975

10. SMA Perancis: 30 judul di Pontoise tahun 1967-1970

11. SMA Belanda: 30 judul di Middleberg tahun 1970-1973

12. SMA Amerika Serikat: 32 judul di Forest Hills tahun 1987-1989

13. AMS Hindia Belanda A: 25 judul di Yogyakarta 1939-1942

14. AMS Hindia Belanda B: 15 judul di Malang tahun 1929-1932

15. SMA Indonesia: 0 judul di mana sajatahun 1943-2005


Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional),dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra:1) tak disebut di kurikulum,2) dibaca cuma ringkasannya,3) siswa tak menulis mengenainya,4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan5} tidak diujikan, dianggap nol.


Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan! Siswa SMA Indonesia Tidak Wajib Membaca Buku Sastra Sama Sekali (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang Bersekolah Tanpa Kewajiban Membaca! (Dharma:2014).


Sementara, membaca itu adalah jendela dunia, membaca itu mencerdaskan, dan membaca itu membekali pembacanya untuk menguasai berbagai hal. Syarat mutlak untuk mengetahui sesuatu adalah Iqra, membaca baik teks maupun konteks. Untuk menulis pun, orang-orang wajib membaca!


“Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik” ( Buya Hamka)


“Books are the carriers of civilizations, without books, history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at a standstill. They are engines of changes, windows on the world, lighthouses erected in the sea of time.” (Barbara W Tuchman)


(Buku adalah pembawa peradaban, Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu)


“There are crimes than burning books, one of them is not reading them” (Ray bradbury)


(ada kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku, salah satunya adalah dengan tidak membacanya) (Pusatdoktamadun).

 


 

TerPopuler

close